Kamis, 29 November 2007

Program P2KP

1.1. Latar Belakang

1.1.1. Gejala-Gejala Kemiskinan

Permasalahan kemiskinan di Indonesia sudah sangat mendesak untuk ditangani. Khususnya di wilayah perkotaan, salah satu ciri umum dari kondisi fisik masyarakat miskin adalah tidak memiliki akses ke prasarana dan sarana dasar lingkungan yang memadai, dengan kualitas perumahan dan permukiman yang jauh dibawah standar kelayakan serta mata pencaharian yang tidak menentu.

Disadari bahwa selama ini banyak pihak lebih melihat persoalan kemiskinan hanya pada tataran gejala-gejala yang tampak terlihat dari luar atau di tataran permukaan saja, yang mencakup multidimensi, baik dimensi politik, sosial, ekonomi, aset dan lain-lain. Dalam kehidupan sehari-hari dimensi-dimensi dari gejala-gejala kemiskinan tersebut muncul dalam berbagai bentuknya, seperti antara lain :
a) Dimensi politik, sering muncul dalam bentuk tidak dimilikinya wadah/organisasi yang mampu memperjuangkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat miskin, sehingga mereka benar-benar tersingkir dari proses pengambilan keputusan penting yang menyangkut diri mereka. Akibatnya, mereka juga tidak memiliki akses yang memadai ke berbagai sumber daya kunci yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan hidup mereka secara layak, termasuk akses informasi;
b) Dimensi sosial, sering muncul dalam bentuk tidak terintegrasikannya warga miskin ke dalam institusi sosial yang ada, terinternalisasikannya budaya kemiskinan yang merusak kualitas manusia dan etos kerja mereka, serta pudarnya nilai-nilai kapital sosial;
c) Dimensi lingkungan, sering muncul dalam bentuk sikap, perilaku dan cara pandang yang tidak berorientasi pada pembangunan berkelanjutan, sehingga cenderung memutuskan dan melaksanakan kegiatan-kegiatan yang kurang menjaga kelestarian dan perlindungan lingkungan serta permukiman.
d) Dimensi ekonomi, muncul dalam bentuk rendahnya penghasilan sehingga tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sampai batas yang layak; dan
e) Dimensi aset, hal ini ditandai dengan rendahnya tingkat kepemilikan masyarakat miskin dalam berbagai hal yang mampu menjadi modal hidup mereka, termasuk aset kualitas sumberdaya manusia (human capital), peralatan kerja, modal dana, hunian atau perumahan dan sebagainya.


Orientasi berbagai program penanggulangan kemiskinan yang hanya menitikberatkan pada salah satu dimensi dari gejala-gejala kemiskinan tersebut, pada dasarnya mencerminkan pendekatan program yang bersifat parsial, sektoral, charity serta tidak menyentuh akar penyebab kemiskinan itu sendiri. Akibatnya program-program dimaksud tidak mampu menumbuhkan kemandirian masyarakat yang pada akhirnya tidak dapat mewujudkan aspek keberlanjutan (sustainability) dari program–program penanggulangan kemiskinan tersebut.

1.1.2. Akar Penyebab Kemiskinan

Berbagai program kemiskinan terdahulu yang bersifat parsial, sektoral dan charity dalam kenyataannya sering menghadapi kondisi yang kurang menguntungkan, misalnya salah sasaran, terciptanya benih-benih fragmentasi sosial, dan melemahkan nilai-nilai kapital sosial yang ada di masyarakat (gotong royong, musyawarah, keswadayaan dll). Lemahnya nilai-nilai kapital sosial pada gilirannya juga mendorong pergeseran perubahan perilaku masyarakat yang semakin jauh dari semangat kemandirian, kebersamaan dan kepedulian untuk mengatasi persoalannya secara bersama.
Kondisi kapital sosial serta perilaku masyarakat yang yang melemah serta memudar tersebut salah satunya disebabkan oleh keputusan, kebijakan dan tindakan dari pengelola program kemiskinan dan pemimpin-pemimpin masyarakat yang selama ini cenderung tidak adil, tidak transparan dan tidak tanggunggugat (tidak pro poor dan good governance oriented). Sehingga menimbulkan kecurigaan, stereotype dan skeptisme di masyarakat.
Keputusan, kebijakan dan tindakan yang tidak adil ini biasanya terjadi pada situasi tatanan masyarakat yang belum madani, dengan salah satu indikasinya dapat dilihat dari kondisi kelembagaan masyarakat yang belum berdaya, yang tidak berorientasi pada keadilan, tidak dikelola dengan jujur dan tidak ikhlas berjuang bagi kepentingan masyarakat.
Kelembagaan masyarakat yang belum berdaya pada dasarnya disebabkan oleh karakterisitik lembaga masyarakat tersebut yang cenderung tidak mengakar, dan tidak representatif. Di samping itu, ditengarai pula bahwa berbagai lembaga masyarakat yang ada saat ini, dalam beberapa hal, lebih berorientasi pada kepentingan pihak luar masyarakat atau bahkan untuk kepentingan pribadi dan kelompok tertentu, sehingga mereka kurang memiliki komitmen dan kepedulian pada masyarakat di wilayahnya, terutama masyarakat miskin. Dalam kondisi ini akan semakin mendalam krisis kepercayaan masyarakat terhadap berbagai lembaga masyarakat yang ada di wilayahnya.
Kondisi kelembagaan masyarakat yang tidak mengakar, tidak representatif dan tidak dapat dipercaya tersebut pada umumnya tumbuh subur dalam situasi perilaku/sikap masyarakat yang belum berdaya. Ketidakberdayaan masyarakat dalam menyikapi dan menghadapi situasi yang ada di lingkungannya, yang pada akhirnya mendorong sikap masa bodoh, tidak peduli, tidak percaya diri, mengandalkan bantuan pihak luar untuk mengatasi masalahnya, tidak mandiri, serta memudarnya orientasi moral dan nilai-nilai luhur dalam kehidupan bermasyarakat, yakni terutama keikhlasan, keadilan dan kejujuran.
Dengan demikian, dari paparan di atas, cukup jelas menunjukkan bahwa situasi kemiskinan akan tumbuh subur dalam situasi perilaku/sikap dan cara pandang (paradigma) masyarakat yang belum berdaya.
Oleh karena itu, P2KP memahami bahwa akar penyebab dari persoalan kemiskinan yang sebenarnya adalah karena kondisi masyarakat yang belum berdaya dengan indikasi kuat yang dicerminkan oleh perilaku/sikap/cara pandang masyarakat yang tidak dilandasi pada nilai-nilai universal kemanusiaan (jujur, dapat dipercaya, ikhlas, dll) dan tidak bertumpu pada prinsip-prinsip universal kemasyarakatan (transparansi, akuntabilitas, partisipasi, demokrasi, dll),

1.1.3. Penanganan Akar Penyebab Kemiskinan

Pemahaman mengenai akar penyebab dari persoalan kemiskinan seperti di atas telah menyadarkan berbagai pihak bahwa pendekatan dan cara yang dipilih dalam penanggulangan kemiskinan selama ini perlu diperbaiki, yaitu ke arah perubahan perilaku/sikap dan cara pandang masyarakat yang senantiasa berlandaskan pada nilai-nilai universal kemanusiaan (moral), prinsip-prinsip kemasyarakatan (good givernance) dan pilar-pilar pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Perubahan perilaku/sikap dan cara pandang masyarakat ini merupakan pondasi yang kokoh bagi terbangunnya lembaga masyarakat yang mandiri, melalui pemberdayaan para pelaku-pelakunya, agar mampu bertindak sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia luhur yang mampu menerapkan nilai-nilai luhur dalam kehidupan bermasyarakatnya sehari-hari.
Kemandirian lembaga masyarakat ini dibutuhkan dalam rangka membangun lembaga masyarakat yang benar-benar mampu menjadi wadah perjuangan kaum miskin, yang mandiri dan berkelanjutan dalam menyuarakan aspirasi serta kebutuhan mereka dan mampu mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kebijakan publik di tingkat lokal agar lebih berorientasi ke masyarakat miskin (“pro poor”) dan mewujudkan tata kepemerintahan yang baik (“good governance”), baik ditinjau dari aspek ekonomi ,lingkungan - termasuk perumahan dan permukiman, maupun sosial.

1.1.4. P2KP Memfasilitasi Masyarakat serta Pemerintah Daerah Untuk Mampu Menangani Akar Penyebab Kemiskinan Secara Mandiri dan Berkelanjutan
Gambaran lembaga masyarakat seperti dimaksud di atas hanya akan dicapai apabila orang-orang yang diberi amanat sebagai pemimpin masyarakat tersebut merupakan kumpulan dari orang-orang yang peduli, memiliki komitmen kuat, ikhlas, relawan dan jujur serta mau berkorban untuk kepentingan masyarakat miskin, bukan untuk mengambil keuntungan bagi kepentingan pribadi maupun kelompoknya. Tentu saja hal ini bukan merupakan suatu pekerjaan yang mudah, karena upaya-upaya membangun kepedulian, kerelawanan, komitment tersebut pada dasarnya terkait erat dengan proses perubahan perilaku masyarakat.
Dalam hal ini, P2KP meyakini bahwa pendekatan yang lebih efektif untuk mewujudkan proses perubahan perilaku masyarakat adalah melalui pendekatan pemberdayaan atau proses pembelajaran (edukasi) masyarakat dan penguatan kapasitas untuk mengedepankan peran pemerintah daerah dalam mengapresiasi dan mendukung kemandirian masyarakatnya.
Kedua substansi P2KP tersebut sangat penting sebagai upaya proses transformasi P2KP dari 'tataran Proyek' menjadi 'tataran program" oleh masyarakat bersama pemerintah daerah setempat. Bagaimanapun harus disadari bahwa upaya dan pendekatan penanggulangan kemiskinan tidak hanya menjadi perhatian pemerintah pusat, melainkan justru yang terpenting harus menjadi prioritas perhatian dan kebutuhan masyarakat bersama pemerintah daerah itu sendiri.
Substansi P2KP sebagai proses pemberdayaan dan pembelajaran masyarakat dilakukan dengan terus menerus untuk menumbuhkembangkan kesadaran kritis masyarakat terhadap nilai-nilai universal kemanusiaan, prinsip-prinsip kemasyarakatan dan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan sebagai landasan yang kokoh untuk membangun masyarakat yang mandiri dan sejahtera. Proses pembelajaran di tingkat masyarakat ini berlangsung selama masa Program P2KP maupun pasca Program P2KP oleh masyarakat sendiri dengan membangun dan melembagakan Komunitas Belajar Kelurahan (KBK).
Dengan demikian, penguatan lembaga masyarakat yang dimaksud P2KP terutama dititikberatkan pada upaya penguatan pelakunya untuk mampu menjadi pelaku nilai dan pada gilirannya mampu menjadi motor penggerak dalam ‘melembagakan’ dan ‘membudayakan’ kembali nilai-nilai universal kemanusiaan (gerakan moral), prinsip-prinsip kemasyarakatan (gerakan good governance) serta prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (gerakan Tridaya), sebagai nilai-nilai utama yang melandasi aktivitas penanggulangan kemiskinan oleh masyarakat setempat.
Melalui lembaga masyarakat tersebut diharapkan tidak ada lagi kelompok masyarakat yang masih terjebak dalam lingkaran kemiskinan, yang pada gilirannya diharapkan dapat tercipta lingkungan perkotaan dengan perumahan yang lebih layak huni di dalam permukiman yang lebih responsif dan dengan sistem sosial masyarakat yang lebih mandiri melaksanakan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.
Sedangkan substansi P2KP sebagai penguatan kapasitas pemerintah daerah dalam rangka mengedepankan peran dan tanggungjawab pemerintah daerah, dilakukan melalui; pelibatan intensif Pemda pada pelaksanaan siklus kegiatan P2KP, penguatan peran dan fungsi Komite Penanggulangan Kemiskinan Daerah (KPK-D) agar mampu menyusun Dokumen Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPK-D) dan PJM Pronangkis Kota/kab berbasis program masyarakat (Pronangkis Kelurahan), serta melembagakan Komunitas Belajar Perkotaan (KBP).
Selain itu, P2KP juga mendorong kemandirian dan kemitraan masyarakat bersama pemerintah daerah dalam penanggulangan kemiskinan di perkotaan yang telah dilakukan melalui Program PAKET. Namun, untuk lebih menjamin kapasitas kemandirian masyarakat dan pemda agar mampu menangani kemiskinan di wilayahnya, maka perlu didorong upaya-upaya menuju tatanan kepemerintahan yang baik (good governance).

Dalam pelaksanaan P2KP, Pemda tidak hanya menjalankan fungsi monitoring, koordinasi serta legitimasi semata, namun juga didorong agar dapat berperan sebagai fasilitator, dinamisator, nara sumber dan pelaksana untuk beberapa kegiatan tertentu di tingkat kota/kabupaten, seperti KBP, penguatan KPK-D, PAKET, dll, yang dalam pelaksanaannya akan difasilitasi intensif KMW.
Dalam kerangka pemikiran tersebut, maka pada P2KP dilengkapi pula dengan komponen kegiatan penataan lingkungan permukiman terpadu (neighbourhood development) berbasis tata pengelolaan pelayanan publik yang baik. Dengan demikian, sasaran upaya penanggulangan kemiskinan melalui P2KP dilakukan secara terpadu baik pada aspek manusia, komunitas dan lingkungannya (hunian dan penghuninya).
Semua pendekatan yang dilakukan P2KP di atas, baik fasilitasi di level masyarakat maupun di level pemerintah kota/kabupaten, ditujukan untuk mendorong proses percepatan terbangunnya landasan yang kokoh bagi terwujudnya kemandirian penanggulangan kemiskinan dan juga melembaganya pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Dengan demikian, pelaksanaan P2KP sebagai “gerakan bersama membangun kemandirian dan pembangunan berkelanjutan yang berbasis nilai-nilai universal” diyakini akan mampu membangun kesadaran kritis dan perubahan perilaku individu ke arah yang lebih baik. Perubahan perilaku individu yang secara kumulatif menimbulkan perubahan kolektif masyarakat inilah yang menjadi inti pendekatan TRIDAYA, yakni proses pemberdayaan masyarakat agar terbangun: daya sosial sehingga tercipta masyarakat efektif, daya ekonomi sehingga tercipta masyarakat produktif dan daya pembangunan sehingga tercipta masyarakat pembangunan yang peduli lingkungan dan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.
Upaya penanggulangan kemiskinan di perkotaan akan lebih efektif bila dapat dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah daerah setempat secara mandiri dan berkelanjutan. Hal ini berarti masyarakat dan pemerintah daerah setempat telah mampu mentransformasi P2KP dari "Skema Proyek" menjadi "Skema Program".
Kemandirian dan tatanan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) tersebut dapat diwujudkan melalui penguatan kapasitas masing-masing pelaku dan kemitraan antara keduanya, yang bertumpu pada 3 (tiga) pondasi utama, yakni: Nilai-Nilai Universal Kemanusiaan (Berbasis Nilai/Moral), Prinsip-Prinsip Kemasyarakatan yang mengacu pada tata kepemerintahan yang baik (Good Governance) dan Prinsip-prinsip Pembangunan Berkelanjutan (Tri-Daya).
Artinya, P2KP diharapkan dapat menjadi “gerakan kemandirian penanggulangan kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan”, yang bertumpu pada nilai-nilai luhur dan prinsip-prinsip universal di atas.


1.2. VISI DAN MISI P2KP

Mengingat bahwa Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) adalah landasan dan pemicu tumbuhnya gerakan pembangunan berkelanjutan dalam penanggulangan kemiskinan di perkotaan, maka diperlukan rumusan visi dan misi yang jelas sehingga dapat dipakai sebagai acuan perilaku dan arahan bagi semua pelaku P2KP maupun bagi para pihak (stakeholders) dalam mengembangkan program-program kemiskinan di wilayahnya.

1.2.1. Visi

Terwujudnya masyarakat madani, yang maju, mandiri, dan sejahtera dalam lingkungan permukiman sehat, produktif dan lestari.

1.2.2. Misi

Membangun masyarakat mandiri yang mampu menjalin kebersamaan dan sinergi dengan pemerintah maupun kelompok peduli setempat dalam menanggulangi kemiskinan secara efektif dan mampu mewujudkan terciptanya lingkungan permukiman yang tertata, sehat, produktif dan berkelanjutan.


1.3. NILAI-NILAI DAN PRINSIP-PRINSIP YANG MELANDASI P2KP

Sejalan dengan substansi konsep Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) bahwa persoalan kemiskinan dapat ditanggulangi dengan terwujudnya pembangunan berkelanjutan yang berlandaskan nilai-nilai luhur kemanusiaan, prinsip-prinsip kemasyarakatan yang bersifat universal dan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, maka rumusan nilai-nilai yang melandasi pelaksanaan P2KP adalah sebagai berikut:

1.3.1. Nilai-Nilai Universal Kemanusiaan (Gerakan Moral)

Nilai-nilai universal kemanusiaan yang harus dijunjung tinggi, ditumbuhkembangkan dan dilestarikan oleh semua pelaku P2KP (baik masyarakat, konsultan, pemerintah, maupun kelompok peduli), dalam melaksanakan P2KP adalah :

1) Jujur; dalam proses pengambilan keputusan, pengelolaan dana serta pelaksanaan kegiatan P2KP harus dilakukan dengan jujur, sehingga tidak dibenarkan adanya upaya-upaya untuk merekayasa, memanipulasi maupun menutup-nutupi sesuatu, yang dapat merugikan masyarakat miskin serta menyimpang dari visi, misi dan tujuan P2KP. Tanpa adanya kejujuran tidak mungkin ada kemajuan yang berkelanjutan dalam bidang apapun;
2) Dapat dipercaya; semua pihak yang terkait dengan pelaksanaan P2KP harus benar-benar dapat menjaga kepercayaan yang diberikan masyarakat maupun pemerintah untuk menerapkan aturan main P2KP dengan baik dan benar. Dengan demikian, pemilihan pelaku-pelaku P2KP di tingkat masyarakat pun, harus menghasilkan figur-figur yang benar-benar dipercaya masyarakat sendiri, bukan semata mempertimbangkan status sosial, pengalaman serta jabatan;
3) Ikhlas/kerelawanan; dalam melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan P2KP benar-benar berlandaskan niat ikhlas untuk turut memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin yang ada di wilayahnya, dan tidak mengharapkan imbalan materi, jasa, maupun mengutamakan kepentingan pribadi serta golongan atau kelompoknya;
4) Adil; dalam menetapkan kebijakan dan melaksanakan P2KP harus menekankan asas keadilan (fairness), kebutuhan nyata dan kepentingan masyarakat miskin. Keadilan dalam hal ini tidak berarti sekedar pemerataan;
5) Kesetaraan; dalam pelibatan masyarakat pada pelaksanaan dan pemanfaatan P2KP, tidak membeda-bedakan latar belakang, asal usul, agama, status, maupun jenis kelamin dan lain-lainnya. Semua pihak diberi kesempatan yang sama untuk terlibat dan/atau menerima manfaat P2KP, termasuk dalam proses pengambilan keputusan;
6) Kesatuan dalam keragaman; dalam melaksanakan kegiatan penanggulangan kemiskinan perlu dioptimalkan gerakan masyarakat, melalui kebersamaan dan kesatuan masyarakat, sehingga kemiskinan benar-benar menjadi urusan semua warga masyarakat dari berbagai latar belakang, suku, agama, mata pencaharian, budaya, pendidikan dan sebagainya dan bukan hanya menjadi urusan dari masyarakat miskin atau pelaku P2KP atau sekelompok elit saja.


1.3.2. Prinsip-Prinsip Universal Kemasyarakatan
Prinsip-prinsip universal kemasyarakatan yang mengacu pada tata kepemerintahan yang baik (Good Governance) yang harus dijunjung tinggi, ditumbuhkembangkan dan dilestarikan oleh semua pelaku P2KP (baik masyarakat, konsultan, maupun pemerintah), dalam melaksanakan P2KP adalah :
1) Demokrasi; dalam setiap proses pengambilan keputusan apapun, musyawarah harus menjadi alat terkuat dan pilar utama dalam menjalankan suatu proses demokrasi. Terlebih lagi apabila dalam hal pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan masyarakat banyak, terutama kepentingan masyarakat miskin, maka mekanisme pengambilan keputusan dilakukan secara kolektif dan demokratis, dengan mengutamakan musyawarah.
Kemampuan masyarakat bermusyawarah, yang dilandasi kesadaran kritis untuk senantiasa menuju kebaikan bersama, pada hakekatnya merupakan manifestasi tertinggi dari suatu kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, P2KP mendorong masyarakat agar dapat mengutamakan dan mendasarkan keputusan melalui mekanisme musyawarah, agar mampu membangun dan memperkuat lembaga pimpinan kolektif masyarakat dengan representasi, yang akseptabel, inklusif, transparan, demokratis dan akuntabel;
2) Partisipasi; dalam tiap langkah kegiatan P2KP harus dilakukan secara partisipatif sehingga mampu membangun rasa kepedulian dan kepemilikan serta proses belajar melalui bekerja bersama. Partisipasi dibangun dengan menekankan proses pengambilan keputusan oleh warga, mulai dari tataran ide/gagasan, perencanaan, pengorganisasian, pemupukan sumber daya, pelaksanaan hingga evaluasi dan pemeliharaan. Partisipasi juga berarti upaya melibatkan segenap komponen masyarakat, khususnya kelompok yang rentan (vulnerable groups), yang selama ini tidak memiliki peluang/akses dalam program/kegiatan setempat;
3) Transparansi dan Akuntabilitas; dalam proses manajemen Program maupun manajemen organisasi masyarakat harus menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas, sehingga masyarakat belajar dan “melembagakan” sikap bertanggung jawab serta tanggung gugat terhadap pilihan keputusan dan kegiatan yang dilaksanakannya. Termasuk terbuka untuk diperiksa oleh BPKP, auditor atau pemeriksaan oleh masyarakat sendiri dan pihak terkait lainnya, serta menyebarluaskan hasil pemeriksaan dan audit tersebut ke masyarakat, pemerintah, lembaga donor serta pihak-pihak lainnya;
4) Desentralisasi; dalam proses pengambilan keputusan yang langsung menyangkut kehidupan dan penghidupan masyarakat agar dilakukan sedekat mungkin dengan pemanfaat atau diserahkan pada masyarakat sendiri, sehingga keputusan yang dibuat benar-benar bermanfaat bagi masyarakat banyak.

1.3.3. Prinsip-Prinsip Universal Pembangunan Berkelanjutan (Tridaya)
Pada dasarnya pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang tidak menimbulkan persoalan baru, bersifat adil intra generasi dan inter generasi. Oleh sebab itu prinsip-prinsip universal pembangunan berkelanjutan harus merupakan prinsip keseimbangan pembangunan, yang dalam kasus P2KP diterjemahkan sebagai sosial, ekonomi dan lingkungan yang tercakup dalam konsep Tridaya. Jadi prinsip-pinsip pembangunan berkelanjutan yang harus dijunjung tinggi, ditumbuhkembangkan dan dilestarikan oleh semua pelaku P2KP (baik masyarakat, konsultan, maupun pemerintah), dalam melaksanakan P2KP adalah melalui penerapan konsep Tridaya sebagai berikut.

1) Perlindungan Lingkungan (Environmental Protection); dalam pengambilan keputusan maupun pelaksanaan kegiatan yang menyangkut kepentingan masyarakat banyak, terutama kepentingan masyarakat miskin, maka didorong agar keputusan dan pelaksanaan kegiatan tersebut berorientasi pada upaya perlindungan/pemeliharaan lingkungan baik lingkungan alami maupun buatan termasuk perumahan dan permukiman, yang harus layak, terjangkau, sehat, aman, teratur, serasi dan produktif. Termasuk didalamnya adalah penyediaan prasarana dan sarana dasar perumahan yang kondusif dalam membangun solidaritas sosial dan meningkatkan kesejahteraan penduduknya.

2) Pengembangan Masyarakat (Social Development); tiap langkah kegiatan P2KP harus selalu berorientasi pada upaya membangun solidaritas sosial dan keswadayaan masyarakat sehingga dapat tercipta masyarakat efektif secara sosial sebagai pondasi yang kokoh dalam upaya menanggulangi kemiskinan secara mandiri dan berkelanjutan. Pengembangan masyarakat juga berarti upaya meningkatkan potensi segenap unsur masyarakat, terutama kelompok masyarakat yang rentan (vulnerable groups) dan marjinal yang selama ini tidak memiliki peluang/akses dalam program/kegiatan setempat;

3) Pengembangan Ekonomi (Economic Development); dalam upaya menyerasikan kesejahteraan material, maka upaya-upaya kearah peningkatan kapasitas dan keterampilan masyarakat miskin dan atau penganggur perlu mendapat porsi khusus termasuk upaya untuk mengembangkan peluang usaha dan akses kesumberdaya kunci untuk peningkatan pendapatan, dengan tetap memperhatikan dampak lingkungan fisik dan sosial.

Prinsip-prinsip universal pembangunan berkelanjutan tersebut pada hakekatnya merupakan pemberdayaan sejati yang terintegrasi, yaitu pemberdayaan manusia seutuhnya agar mampu membangkitkan ketiga daya yang telah dimiliki manusia secara integratif, yaitu daya pembangunan agar tercipta masyarakat yang peduli dengan pembangunan perumahan dan permukiman yang berorietasi pada kelestarian lingkungan, daya sosial agar tercipta masyarakat efektif secara sosial, dan daya ekonomi agar tercipta masyarakat produktif secara ekonomi.


Diyakini bahwa pelaksanaan P2KP sebagian besar akan sangat ditentukan oleh individu-individu dari pelaksana, pemanfaat, maupun pelaku-pelaku P2KP lainnya. Oleh karena itu, dengan memberdayakan individu-individu tersebut diharapkan dapat membangun kesadaran kritis dan perubahan perilaku yang positif, mandiri dan merdeka berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Perubahan perilaku individu inilah yang menjadi pilar bagi perubahan perilaku kolektif, sehingga pada akhirnya masyarakat (kumpulan-kumpulan individu yang memiliki kesadaran kritis) mampu membangun dan menumbuhkembangkan keberdayaan masyarakat dalam bidang pembangunan lingkungan, sosial dan ekonomi..


1.4. KARAKTERISTIK KHAS P2KP

Karakteristik khas P2KP yang menyebabkan P2KP berbeda dengan Program-Program sejenis yang lain, terletak pada asumsi dasar tentang masyarakat ataupun pemerintah, tantangan, pendekatan dan implementasi sebagai berikut di bawah ini.

1) Asumsí dasar di P2KP

Asumsi dasar di P2KP adalah bahwa akar persoalan kemiskinan pada dasarnya terkait erat dengan perilaku/sikap dan cara pandang manusia (individu) atau sifat kemanusiaan seseorang, yang kemudian mempengaruhi perilaku/sikap dan cara pandang secara kolektif (masyarakat) atau prinsip-prinsip hidup bermasyarakat, sebagaimana dijelaskan pada Gambar 1.4. di bawah ini:

Gambar 1.4. Asumsi Dasar di P2KP

Akar Kemiskinan Tumbuh Subur....,
Karena:
Semakin Lunturnya Keadilan.....
Semakin Lunturnya Kejujuran....
Semakin Lunturnya Keikhlasan...
Semakin Lunturnya Kepercayaan...
Semakin Lunturnya Kepedulian....
Semakin Lunturnya Kesatuan.....
Semakin Lunturnya Kebersamaan dan Solidaritas Sosial.....
Tegasnya, Karena Semakin Lunturnya Nilai-Nilai
Kemanusiaan, Prinsip-Prinsip Kemasyarakatan Dan Pilar-Pilar Pembangunan Berkelanjutan...
yang Universal dan Hakiki !
P2KP hanya akan Mampu Memberikan Kontribusi bagi Perbaikan
Masyarakat Miskin, Apabila:
Semakin Pulihnya Keadilan........
Semakin Pulihnya Kejujuran........
Semakin Pulihnya Keikhlasan.......
Semakin Pulihnya Kepercayaan.......
Semakin Pulihnya Kepedulian........
Semakin Pulihnya Kesatuan......
Semakin Pulihnya Kebersamaan dan Solidaritas Sosial......
Tegasnya, Semakin Pulihnya Nilai-Nilai Kemanusiaan,
Prinsip-Prinsip Kemasyarakatan serta Pilar-Pilar Pembangunan Berkelanjutan....
yang Universal dan Hakiki !

2) Paradigma-Paradigma di P2KP
a) Akar persoalan kemiskinan disebabkan oleh memudar serta lunturnya nilai-nilai luhur kemanusiaan, prinsip-prinsip kemasyarakatan dan pilar-pilar pembangunan berkelanjutan, yang melahirkan ketertutupan, ketidakadilan, keserakahan, mementingkan diri atau golongannya sendiri, ketidakpercayaan, perpecahan, penyimpangan, salah sasaran, mental ketergantungan pada bantuan dll;
b) Akar penyebab kemiskinan hanya dapat diselesaikan masyarakat dan pemerintah daerah sendiri melalui perbuatan baik, orientasi kepentingan umum serta kelestarian, oleh orang-orang yang baik dan benar, yang tulus ikhlas sebagai hasil dari pulihnya kembali nilai-nilai luhur kemanusiaan, prinsip-prinsip universal kemasyarakatan, dan pilar-pilar pembangunan berkelanjutan.
c) Manusia pada dasarnya baik. Di masyarakat maupun pemerintah daerah memiliki banyak tambang-tambang potensi sumber daya dan orang-orang berkualitas yang jujur serta dapat dipercaya serta penuh dengan manusia baik yang sarat dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan, akan tetapi kebaikannya tertutup oleh sistem serta tatanan kehidupan di sekitarnya (seperti tambang permata yang belum digali)
d) Menggali dan membuka peluang munculnya orang-orang yang jujur, dapat dipercaya, ikhlas, peduli, mampu, serta bertanggungjawab akan lebih menjamin kemajuan masyarakat!
e) Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Masyarakat dan pemerintah daerah yang mandiri serta bersifat pemberi adalah lebih baik daripada masyarakat dan pemerintah daerah yang senantiasa meminta dan memiliki mental tergantung pada bantuan pihak luar.
f) Dana P2KP digunakan sebaik-baiknya untuk kemanfaatan dan kepentingan perbaikan kesejahteraan masyarakat miskin. Pemanfaatan dana P2KP yang tidak sesuai dengan kemanfaatan bagi masyarakat miskin, atau salah sasaran, hanya akan memberikan andil besar pada “Pemiskinan Rakyat”.
g) Pengambilan keputusan dalam pelaksanaan P2KP di tingkat masyarakat melalui “Voting” hanya baik dilakukan bila telah tercapai kesamaan pemahaman mengenai persoalan yang dihadapi. Meskipun demikian, keputusan melalui musyawarah mufakat yang dilandasi kesadaran kritis adalah tingkat demokrasi yang terluhur …!
h) Siapakah yang membangun? Jawabnya hanya satu: “Orang-orang yang peduli” siapa pun dia, dari suku apa pun dia, dari agama apa pun dia, berasal dari penjuru mana pun dia, laki-laki atau perempuan, tua-muda-atau anak-anak, berpendidikan tinggi atau tidak, dan lainnya.
i) Solidaritas sosial harus dibangun diatas nilai-nilai kemanusiaan yang universal (Jujur, Dapat Dipercaya, Adil, dan lainnya) serta prinsip-prinsip kemasyarakatan (transparan, akuntabel, partisipatif, demokratis, dll), sehingga kebenaran tidak akan terkalahkan.
j) Yakinlah bahwa: Musuh bersama kemiskinan adalah “sifat-sifat buruk kemanusiaan”nya, bukan organisasi atau lembaga. Karena itu, suburkanlah sifat-sifat baik kemanusiaan di dalam diri dan lingkungan sekitar kita.
k) Bersikap Adil adalah: “Memperlakukan orang lain seperti diri sendiri ingin diperlakukan oleh orang lain”
l) Upaya penanggulangan akar kemiskinan harus dilanjutkan dengan upaya perbaikan kesejahteraan dan tata kehidupan serta lingkungan yang berkelanjutan melalui penumbuh-kembangan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (Tridaya).
3) Tantangan Utama
a. Mendorong masyarakat dan pemerintah daerah untuk menemukan orang-orang baik dan benar.
b. Mendorong kemandirian masyarakat dan pemerintah daerah untuk bertumpu pada potensi sumber daya yang dimiliki mereka sendiri dan mengurangi mental ketergantungan pada bantuan dari pihak luar. Dukungan pihak luar hanya sebagai pelengkap (stimulans) dari potensi yang ada.
c. Mendorong terwujudnya pembangunan berkelanjutan
4) Pendekatan
a. Pemberdayaan sejati, yaitu proses pembelajaran (edukasi) agar mampu menggali nilai-nilai baik yang telah dimiliki manusia dan memberdayakannya atau dengan kata lain memulihkan fitrah manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai mahluk ciptaan tertinggi sehingga mampu bertindak secara moral/nurani. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa Program P2KP ibarat sebuah sekop bagi masyarakat untuk memunculkan orang-orang baik dan benar, dan kemudian mendudukkannya pada tempat yang terhormat
b. Pemberdayaan masyarakat, yaitu mengubah 'skema Proyek' menjadi 'tatanan program' dari, oleh dan untuk masyarakat.
c. Penguatan Kapasitas Pemerintah Daerah, yaitu melembagakan kemandirian dan keberlanjutan program penanggulangan kemiskinan, melalui proses konsultatif dan Kemitraan sinergis antara pemerintah, masyarakat serta kelompok peduli setempat
d. Pembangunan Berkelanjutan, yaitu melalui Pembangunan daya sosial, daya lingkungan, daya ekonomi (Tridaya) secara proporsional sesuai aspirasi dan kebutuhan riil masyarakat.
5) Implementasi
a. Masyarakat menentukan siapa kelompok sasaran;
b. Masyarakat menentukan kelembagaan yang merepresentasikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip universal sebagai pimpinan kolektif mereka dalam membangun kemandirian dan keberlanjutan upaya penanggulangan kemiskinan.
c. Masyarakat merencanakan/menentukan sendiri bagaimana menanggulangi kemiskinan melalui PJM Pronangkis yang disepakati bersama
d. Masyarakat menggalang, memanfaatkan, mengoptimalkan dan mengelola sumber daya yang dimilikinya serta sumber daya luar yang diperolehnya, baik dari sumber daya P2KP, pemerintah daerah maupun sumber daya lainnya (melalui program kemitraan serta channeling program), untuk berlatih mengimplementasikan rencana mereka dalam menanggulangi kemiskinan
e. Masyarakat menentukan bagaimana menata dan membangun lingkungan permukiman yang terpadu, sehat, produktif dan lestari
f. Melembagakan Komunitas Pembelajar, baik di tingkat masyarakat kelurahan melalui Komunitas Belajar Kelurahan maupun di tingkat kota/kabupaten dengan Komunitas Belajar Perkotaan.
g. Pemerintah daerah mampu memfungsikan KPK-D dalam menyusun SPK-D dan Pronangkis Kota berbasis aspirasi serta kebutuhan masyarakat.
h. Pemerintah daerah menjalin kemitraan sinergis dengan masyarakat dan kelompok peduli, sejak tahap perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi hingga tahap pemeliharaan.

Tidak ada komentar: