Kamis, 29 November 2007

Petani, Kemiskinan dan Reforma Agraria

Bulan Maret 2007 ini Badan Pusat Statistik melakukan Survei Sosial Ekonomi Nasional. Survei berkala ini akan memotret kondisi sosial-ekonomi masyarakat dan akan menjawab posisi terakhir kemiskinan di Indonesia.Hasil survei akan diumumkan pada September 2007. Dengan garis kemiskinan Rp 152.847 per kapita per bulan (setara konsumsi 2.100 kkal), angka resmi jumlah warga miskin kini 39,1 juta orang (17,75 persen), meningkat 3,95 juta, ketimbang Februari 2005 yang 35,1 juta (15,97 persen).Petani gurem di pedesaanSiapa dan di mana orang miskin tinggal? Hasil Sensus Pertanian 2003 menyebutkan, jumlah rumah tangga petani gurem dengan penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektar—milik sendiri maupun menyewa—meningkat 2,6 persen per tahun dari 10,8 juta rumah tangga (1993) menjadi 13,7 juta rumah tangga (2003).Persentase rumah tangga petani gurem terhadap rumah tangga pertanian pengguna lahan juga meningkat dari 52,7 persen (1993) menjadi 56,5 persen (2003). Dari 24,3 juta rumah tangga petani berbasis lahan (land base farmers), 20,1 juta (82,7 persen) di antaranya dapat dikategorikan miskin.Karena sebagian besar rumah tangga petani di Indonesia (73,4 persen) adalah petani padi/palawija, maka sebagian besar petani gurem adalah petani padi/palawija. Menurut Berita Resmi Statistik (September 2006), 63,41 persen penduduk miskin ada di daerah pedesaan.Data-data itu menggambarkan dua hal: sebagian besar petani miskin dan sebagian besar orang miskin itu petani. Mereka tinggal di pedesaan. Data itu juga menunjukkan, kemiskinan yang diderita petani adalah kemiskinan struktural, kemiskinan aset, yang tidak bisa dipecahkan hanya dengan langkah karitatif, seperti bantuan langsung tunai (BLT) atau bantuan tunai bersyarat.Besarnya jumlah rumah tangga miskin ini tidak bisa dipandang sebagai insiden, harus dipandang sebagai sesuatu yang bersifat struktural, dan perlu langkah- langkah struktural dan radikal guna mengatasinya. Tanpa itu, kemiskinan akan menjadi virus laten yang sulit diberantas.Sudah lamaKemiskinan petani, terutama petani padi, sudah terekam lama. Setelah krisis, nilai tukar petani terus merosot. Artinya, perbandingan harga yang diterima dan dibayarkan petani kian menurun. Ini menjadi petunjuk, kesejahteraan mereka kian merosot dan miskin. Kini tingkat kemiskinan di pedesaan lebih tinggi sebelum krisis dan keadaan sebaliknya terjadi di perkotaan.Hal itu menandakan pengentasan kemiskinan di pedesaan lebih lamban. Kebijakan antipedesaan, seperti impor beras, penurunan harga pembelian gabah dan bea impor, hanya akan memperdalam tingkat kemiskinan. Yang diperlukan adalah beleid yang mempromosikan pedesaan.Bagaimana mempromosikan pedesaan? Ada banyak cara. Untuk Indonesia, tangan Coelli dan Rao (2004) bisa dipinjam. Dengan menganalisis data 93 negara periode 1980-2000, keduanya menyimpulkan dua faktor terpenting yang berdampak negatif pada pertumbuhan produktivitas pertanian (pedesaan): ketimpangan pemilikan lahan dan kebijakan yang menekan desa tetapi menguntungkan kota.Pada 1995, jumlah petani tunalahan di Jawa sebanyak 48,6 persen, meningkat jadi 49,5 persen (1999). Meski tak separah di Jawa, di luar Jawa cenderung sama. Pada 1995 jumlah petani tunalahan 12,7 persen, meningkat 18,7 persen (1999). Sebaliknya, 10 persen penduduk di Jawa memiliki 51,1 persen tanah (1995) dan jadi 55,3 persen (1999). Itu menunjukkan ketimpangan distribusi pemilikan tanah kian parah.Beban industrialisasiSepanjang Orde Baru, petani dan pertanian memikul beban industrialisasi. Lewat politik pangan murah untuk menjaga stabilitas upah buruh, surplus pertanian mengalir ke industri. Prestasi swasembada pun tidak linear dengan kesejahteraan petani. Di China dan Korea Selatan, strategi itu dipakai. Bedanya, saat industri menghasilkan surplus, sebagian keuntungan dikembalikan ke pertanian. Yang terjadi di Indonesia sebaliknya, setelah diperas, pertanian ditinggalkan. Surplus industri dipakai buat konsumsi barang mewah, membangun properti dan dibawa ke luar.Ini terjadi hingga kini. Misalnya, cukai rokok tiap tahun lebih Rp 30 triliun, lebih tiga kali dividen pemerintah dari BUMN. Ini menggambarkan pertanian berpotensi besar, tetapi kapital yang kembali ke pertanian tidak sebanding dengan yang keluar. Struktur yang mengisap dan menekan inilah yang membuat petani kian miskin. Membiarkan ketimpangan pemilikan lahan dan pengisapan pedesaan sama saja membiarkan petani tetap terbelenggu kemiskinan.Dari sisi petani, agar bisa keluar dari kemiskinan, tanah, modal, pengetahuan, dan teknologi, serta akses pasar menjadi kebutuhan primer. Tidak cukup dengan redistribusi tanah (landreform). Sejarah mengajarkan, karena tidak didukung infrastruktur penunjang, redistribusi tanah ternyata menyebabkan produksi menurun beberapa tahun. Maka, perlu program penunjang, program plus, yakni perkreditan, penyuluhan, pendidikan, latihan, teknologi, pemasaran, manajemen, infrastruktur, dan lain-lain.Inilah landreform plus atau reforma agraria. Karena itu, tekad Presiden Yudhoyono untuk membagikan enam juta dari 8,15 juta hektar lahan buat petani mulai 2007 harus dilengkapi program plus. Tanpa program penunjang, mustahil petani terentas dari lembah kemiskinan.Khudori Peminat Masalah Sosial-Ekonomi Pertanian

Tidak ada komentar: