Kamis, 29 November 2007

KEMISKINAN

Kita bukan bangsa miskin. Dilihat dari segi kebudayaan lokal di masing-masing etnis kita yang serba plural—penuh warna-warni, kaya akan nuansa, dan kearifan tradisional, cita rasa dan penghayatan hidup yang dalam dan beragam—jelas kita ini megah.Dibanding kemegahan kita, Malaysia bukan apa-apa. Singapura apalagi. Di kawasan Asia Pasifik ini tak ada negeri yang setara dengan Indonesia Raya.Namun, mengapa kita tampak begitu dungu menghadapi persoalan kenegaraan yang ruwet dan hubungan internasional yang kejam, menindas, dan penuh penipuan seperti zaman kolonial dulu? Mengapa kita lumpuh menghadapi kebutuhan akan lapangan kerja sehingga perekonomian rakyat megap-megap, padahal katanya kita memiliki menteri keuangan terbaik di dunia?Apa makna "terbaik" di sini bila kita harus puas dalam kemiskinan dan tetap menjadi kuli yang tiap saat diusir seperti anjing kurap dari Malaysia? Bukankah "terbaik" di sini hanya menjadi ironi dan potret kegetiran yang membikin kita tampak lebih miskin dan merana di mata negara-negara tetangga atau negara sahabat yang tak pernah bersikap sebagai tetangga dan sahabat?Apakah kita “terbaik" dalam urusan menelantarkan ekonomi rakyat yang tak tergantung pada kebijakan keuangan negara dan tak pernah memperoleh fasilitas bank?Secara kebudayaan kita bangsa kaya. Tetapi, mengapa dalam berbahasa para politisi, para pejabat, para artis, dan bahkan juga para pengamat dan para ilmuwan kita begitu miskin? Tiap saat kita menyaksikan pameran kemiskinan artikulasi, kemiskinan kosakata, kemiskinan metafora, dan kemiskinan idiom, atau ungkapan. Mengapa dalam berbahasa kita tampak miskin? Banyak kaum terpelajar yang bahasa Indonesianya belum lengkap.Dan mengapa media dan orang-orang media tak menyadari bahwa dalam berbahasa mereka pun melarat? Mengapa media dan orang-orang media mengalami kemandekan dalam kreativitas berbahasa?Bahasa para presenter dan penyiar radio maupun televisi tak terlalu jauh bedanya dibanding bahasa pasaran yang dipakai orang-orang kita di pasar-pasar. Media dan orang-orang media tak bisa diharap menjadi pelopor bahasa dan tak tampak bakal bisa memberi contoh dalam urusan berbahasa.Tampaknya, pepatah "bahasa menunjukkan bangsa" tak berlaku karena "bangsa" pedagang, "bangsa" pejabat, dan "bangsa" orang media sama-sama berbagi kemandulan kreativitas berbahasa. Mereka sama-sama terjajah "kepuasan" dalam memilih kata, atau ungkapan, seadanya, karena dengan begitu kita tak usah berpikir.Wartawan tulis, wartawan "lisan" (di radio maupun televisi), presenter dan para penyiar—yunior maupun senior—apa bedanya? Kata "mengusung", yang berasal dari bahasa Jawa, yang menunjukkan adanya suatu jenis pekerjaan yang membutuhkan tenaga—bukan kedalaman pemkiran maupun estetika—yang harus dikerjakan bersama-sama, dalam bahasa media kita dipakai untuk lain arti."Mengusung" sering disinonimkan dengan mendukung, atau menjagokan. Kita tahu pengguna bahasa itu malas berpikir untuk menemukan ketepatan makna. Di sini suatu kata lahir dari sikap latah. Dalam diskursus dan percaturan sosial yang latah, kita tak bisa membedakan siapa di antara mereka yang agak terpelajar dan yang bukan.Kata "tentunya" sering dijejalkan ke telinga atau mata kita. Sering, "tentunya" itu berarti tentu saja, dengan sendirinya, sudah pasti, atau tak perlu diragukan. Tetapi, sering pula ia berarti sudah barang tentu, dan terkadang berarti seharusnya, yang muncul dari struktur bahasa jawa, "kudune". Tak jarang, "tentunya" yang mewakili banyak arti itu diganti dengan "pastinya". Dan baik "tentunya" maupun "pastinya" membuat saya merasa agak muak menyimak logika berbahasa yang berkembang dalam kemiskinan kesadaran dan penalaran ini.Miskin renungan dan sikap kritis—karena bagi banyak orang "rasa bahasa" itu tidak penting, dan urusan berbahasa dianggap sudah "selesai" dalam segenap kesempurnaannya—membuat kita mudah mencomot kata "terkait" untuk ditempatkan di dalam semua konteks peristiwa dan struktur kalimat mana pun tanpa mempertanyakan ketepatannya.Kemiskinan dalam berbahasa ini tak terasa, atau belum terasa sebagai masalah, karena kita sedang dicekik kemiskinan lain: kita melarat secara ekonomi dan kemelaratan ini lebih menentukan hidup dan mati kita.Bila kemiskinan berbahasa ini kita biarkan, kita tak akan punya pengarang yang bisa menghentak publik—seperti Chairil, Sutardji, atau Goenawan Mohamad—dengan ketepatan rumusan kata yang dipilih secara hati-hati dengan kesengajaan dan kesadaran.Kata yang hadir di dalam konteks peristiwa atau kalimat yang tepat, memancarkan karakter yang kuat, dan bahwa karakter itu memengaruhi para pembaca. Kita tak pernah lupa bahwa revolusi 45 dimulai dari revolusi bahasa."Tanah air", "bahasa", "bangsa", tiga unsur pembentuk syarat-syarat bernegara, muncul dari revolusi bahasa yang menjelma dalam alam kesadaran politik kita. Muhammad Sobary: Kompas, 22 Juli 2007

Tidak ada komentar: