Kamis, 29 November 2007

KEMISKINAN

Kita bukan bangsa miskin. Dilihat dari segi kebudayaan lokal di masing-masing etnis kita yang serba plural—penuh warna-warni, kaya akan nuansa, dan kearifan tradisional, cita rasa dan penghayatan hidup yang dalam dan beragam—jelas kita ini megah.Dibanding kemegahan kita, Malaysia bukan apa-apa. Singapura apalagi. Di kawasan Asia Pasifik ini tak ada negeri yang setara dengan Indonesia Raya.Namun, mengapa kita tampak begitu dungu menghadapi persoalan kenegaraan yang ruwet dan hubungan internasional yang kejam, menindas, dan penuh penipuan seperti zaman kolonial dulu? Mengapa kita lumpuh menghadapi kebutuhan akan lapangan kerja sehingga perekonomian rakyat megap-megap, padahal katanya kita memiliki menteri keuangan terbaik di dunia?Apa makna "terbaik" di sini bila kita harus puas dalam kemiskinan dan tetap menjadi kuli yang tiap saat diusir seperti anjing kurap dari Malaysia? Bukankah "terbaik" di sini hanya menjadi ironi dan potret kegetiran yang membikin kita tampak lebih miskin dan merana di mata negara-negara tetangga atau negara sahabat yang tak pernah bersikap sebagai tetangga dan sahabat?Apakah kita “terbaik" dalam urusan menelantarkan ekonomi rakyat yang tak tergantung pada kebijakan keuangan negara dan tak pernah memperoleh fasilitas bank?Secara kebudayaan kita bangsa kaya. Tetapi, mengapa dalam berbahasa para politisi, para pejabat, para artis, dan bahkan juga para pengamat dan para ilmuwan kita begitu miskin? Tiap saat kita menyaksikan pameran kemiskinan artikulasi, kemiskinan kosakata, kemiskinan metafora, dan kemiskinan idiom, atau ungkapan. Mengapa dalam berbahasa kita tampak miskin? Banyak kaum terpelajar yang bahasa Indonesianya belum lengkap.Dan mengapa media dan orang-orang media tak menyadari bahwa dalam berbahasa mereka pun melarat? Mengapa media dan orang-orang media mengalami kemandekan dalam kreativitas berbahasa?Bahasa para presenter dan penyiar radio maupun televisi tak terlalu jauh bedanya dibanding bahasa pasaran yang dipakai orang-orang kita di pasar-pasar. Media dan orang-orang media tak bisa diharap menjadi pelopor bahasa dan tak tampak bakal bisa memberi contoh dalam urusan berbahasa.Tampaknya, pepatah "bahasa menunjukkan bangsa" tak berlaku karena "bangsa" pedagang, "bangsa" pejabat, dan "bangsa" orang media sama-sama berbagi kemandulan kreativitas berbahasa. Mereka sama-sama terjajah "kepuasan" dalam memilih kata, atau ungkapan, seadanya, karena dengan begitu kita tak usah berpikir.Wartawan tulis, wartawan "lisan" (di radio maupun televisi), presenter dan para penyiar—yunior maupun senior—apa bedanya? Kata "mengusung", yang berasal dari bahasa Jawa, yang menunjukkan adanya suatu jenis pekerjaan yang membutuhkan tenaga—bukan kedalaman pemkiran maupun estetika—yang harus dikerjakan bersama-sama, dalam bahasa media kita dipakai untuk lain arti."Mengusung" sering disinonimkan dengan mendukung, atau menjagokan. Kita tahu pengguna bahasa itu malas berpikir untuk menemukan ketepatan makna. Di sini suatu kata lahir dari sikap latah. Dalam diskursus dan percaturan sosial yang latah, kita tak bisa membedakan siapa di antara mereka yang agak terpelajar dan yang bukan.Kata "tentunya" sering dijejalkan ke telinga atau mata kita. Sering, "tentunya" itu berarti tentu saja, dengan sendirinya, sudah pasti, atau tak perlu diragukan. Tetapi, sering pula ia berarti sudah barang tentu, dan terkadang berarti seharusnya, yang muncul dari struktur bahasa jawa, "kudune". Tak jarang, "tentunya" yang mewakili banyak arti itu diganti dengan "pastinya". Dan baik "tentunya" maupun "pastinya" membuat saya merasa agak muak menyimak logika berbahasa yang berkembang dalam kemiskinan kesadaran dan penalaran ini.Miskin renungan dan sikap kritis—karena bagi banyak orang "rasa bahasa" itu tidak penting, dan urusan berbahasa dianggap sudah "selesai" dalam segenap kesempurnaannya—membuat kita mudah mencomot kata "terkait" untuk ditempatkan di dalam semua konteks peristiwa dan struktur kalimat mana pun tanpa mempertanyakan ketepatannya.Kemiskinan dalam berbahasa ini tak terasa, atau belum terasa sebagai masalah, karena kita sedang dicekik kemiskinan lain: kita melarat secara ekonomi dan kemelaratan ini lebih menentukan hidup dan mati kita.Bila kemiskinan berbahasa ini kita biarkan, kita tak akan punya pengarang yang bisa menghentak publik—seperti Chairil, Sutardji, atau Goenawan Mohamad—dengan ketepatan rumusan kata yang dipilih secara hati-hati dengan kesengajaan dan kesadaran.Kata yang hadir di dalam konteks peristiwa atau kalimat yang tepat, memancarkan karakter yang kuat, dan bahwa karakter itu memengaruhi para pembaca. Kita tak pernah lupa bahwa revolusi 45 dimulai dari revolusi bahasa."Tanah air", "bahasa", "bangsa", tiga unsur pembentuk syarat-syarat bernegara, muncul dari revolusi bahasa yang menjelma dalam alam kesadaran politik kita. Muhammad Sobary: Kompas, 22 Juli 2007

Sejarah Magelang

Sejarah Magelang
Hari Jadi Magelang ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah Kota Magelang Nomor 6 Tahun 1989, bahwa tanggal 11 April 907 Masehi. Penetapan ini merupakan tindak lanjut dari seminar dan diskusi yang dilaksanakan oleh Panitia Peneliti Hari Jadi Kota Magelang bekerjasama dengan Universitas Tidar Magelang dengan dibantu pakar sejarah dan arkeologi Universitas Gajah Mada, Drs.MM. Soekarto Kartoatmodjo, dengan dilengkapi berbagai penelitian di Museum Nasional maupun Museum Radya Pustaka-Surakarta.
Kota Magelang mengawali sejarahnya sebagai desa perdikan "Mantyasih", yang saat ini dikenal dengan Kampung Meteseh di Kelurahan Magelang. Mantyasih sendiri memiliki arti beriman dalam Cinta Kasih. Di kampung Meteseh saat ini terdapat sebuah lumpang batu yang diyakini sebagai tempat upacara penetapan Sima atau Perdikan.
Untuk menelusuri kembali sejarah Kota Magelang, sumber prasasti yang digunakan adalah Prasasti POH, Prasasti GILIKAN dan Prasasti MANTYASIH. Ketiganya merupakan parsasti yang ditulis diatas lempengan tembaga.
Parsasti POH dan Mantyasih ditulis zaman Mataram Hindu saat pemerintahan Raja Rake Watukura Dyah Balitung (898-910 M), dalam prasasti ini disebut-sebut adanya Desa Mantyasih dan nama Desa Glangglang. Mantyasih inilah yang kemudian berubah menjadi Meteseh, sedangkan Glangglang berubah menjadi Magelang.
Dalam Prasasti Mantyasih berisi antara lain, penyebutan nama Raja Rake Watukura Dyah Balitung, serta penyebutan angka 829 Çaka bulan Çaitra tanggal 11 Paro-Gelap Paringkelan Tungle, Pasaran Umanis hari Senais Sçara atau Sabtu, dengan kata lain Hari Sabtu Legi tanggal 11 April 907. Dalam Prasasti ini disebut pula Desa Mantyasih yang ditetapkan oleh Sri Maharaja Rake Watukura Dyah Balitung sebagai Desa Perdikan atau daerah bebas pajak yang dipimpin oleh pejabat patih. Juga disebut-sebut Gunung SUSUNDARA dan WUKIR SUMBING yang kini dikenal dengan Gunung SINDORO dan Gunung SUMBING.
Begitulah Magelang, yang kemudian berkembang menjadi kota selanjutnya menjadi Ibukota Karesidenan Kedu dan juga pernah menjadi Ibukota Kabupaten Magelang. Setelah masa kemerdekaan kota ini menjadi kotapraja dan kemudian kotamadya dan di era reformasi, sejalan dengan pemberian otonomi seluas - luasnya kepada daerah, sebutan kotamadya ditiadakan dan diganti menjadi kota.
Ketika Inggris menguasai Magelang pada abad ke 18, dijadikanlah kota ini sebagai pusat pemerintahan setingkat Kabupaten dan diangkatlah Mas Ngabehi Danukromo sebagai Bupati pertama. Bupati ini pulalah yang kemudian merintis berdirinya Kota Magelang dengan membangun Alun - alun, bangunan tempat tinggal Bupati serta sebuah masjid. Dalam perkembangan selanjutnya dipilihlah Magelang sebagai Ibukota Karesidenan Kedu pada tahun 1818.
Setelah pemerintah Inggris ditaklukkan oleh Belanda, kedudukan Magelang semakin kuat. Oleh pemerintah Belanda, kota ini dijadikan pusat lalu lintas perekonomian. Selain itu karena letaknya yang strategis, udaranya yang nyaman serta pemandangannya yang indah Magelang kemudian dijadikan Kota Militer: Pemerintah Belanda terus melengkapi sarana dan prasarana perkotaan. Menara air minum dibangun di tengah-tengah kota pada tahun 1918, perusahaan listrik mulai beroperasi tahun 1927, dan jalan - jalan arteri diperkeras dan diaspal.

PARTISIPASI DAN DIMENSI KESWADAYAAN

PENDAHULUAN
Istilah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) berasal dari suatu seminar yang diselenggarakan Sekretariat Bina Desa (SBD) di Ungaran, Jawa Tengah 1978. Penulis berkonsultasi dengan Prof. Dr. Sayogyo minta pendapat beliau tentang istilah yang sebaiknya dipakai untuk menyebut berbagai kelompok, lembaga atau organisasi yang bermunculan pada waktu itu, yang sangat aktif dalam upaya-upaya pembangunan terutama diantara lapisan masyarakat bawah.
Di kalangan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), kelompok, lembaga atau organisasi tersebut disebut Non Government Organization (NGO) yang kemudian dalam suatu konferensi (1976) Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) diterjemahkan menjadi Organisasi Non Pemerintah (disingkat ORNOP). Penulis merasa kurang "sreg" dengan istilah tersebut. Pertama, karena pengertian organisasi Non Pemerintah dapat mencakup berbagai organisasi yang luas (asalkan bukan organisasi Pemerintah) baik organisasi bisnis, kalangan pers, paguyuban seni, olah raga dan lain-lain, padahal dengan NGO yang dimaksud lebih khusus yaitu yang berhubungan langsung dengan pembangunan.
Kedua, dalam sejarah pengerakan, kita mengenal istilah ''Non" dan "Co". Pada waktu pendudukan Belanda ada kelompok masyarakat yang bekerjasama dengan Belanda disebut "golongan Co" dan ada kelompok yang menolak kerjasama disebut "golongan Non". Istilah NGO dapat diartikan atau dituduh sebagai kelompok masyarakat yang tidak mau bekerjasama dengan Pemerintah. Padahal untuk mencapai tujuan dari kelompok, lembaga atau organisasi tersebut, yaitu meningkatkan keswadayaan dan kemandirian masyarakat yang dilayani, sering perlu banyak bekerjasama dengan Pemerintah.
Dalam mencari istilah Indonesia bagi NGO, penulis kemudian menemukan istilah yang sering dipakai oleh Kementrian Kerjasama International Jerman (Barat) yaitu Self Help Promoting Institute (SHPI) dan Self Help Organization (SHO), masing-masing dimaksudkan sebagai lembaga yang didirikan dengan tujuan menolong yang lain, sedang yang kedua dimaksudkan untuk menolong diri sendiri. Penulis pikir istilah ini cocok untuk Indonesia. Dan atas saran Prof. Sayogyo kemudian diperkenalkan istilah Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat (LPSM) untuk SHPI dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk SHO.
Dalam Seminar (kerjasama antara SBD dan WALHI) di Gedung YTKI 1981 antara lain dimaksudkan memberi masukan pada Undang-undang Lingkungan Hidup yang sedang disusun DPR, untuk memudahkan pemahaman di masyarakat disepakati menggunakan satu istilah saja yaitu LSM.
Istilah LSM lalu didefinisikan secara tegas dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) No. 8/1990, yang ditujukan kepada gubernur di seluruh Indonesia tentang Pembinaan Lembaga Swadaya Masyarakat. Lampiran II dari Inmendagri menyebutkan bahwa LSM adalah organisasi/lembaga yang anggotanya adalah masyarakat warganegara Republik Indonesia yang secara sukarela atau kehendak sendiri berniat serta bergerak di bidang kegiatan tertentu yang ditetapkan oleh organisasi/lembaga sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, yang menitikberatkan kepada pengabdian secara swadaya.
Dalam Pilot Proyek Hubungan Bank dan Kelompok Swadaya Masyarakat (PPHBK) istilah LSM mencakup pengertian LPSM (Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat) dan KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat). PPHBK yang dikelola oleh Bank Indonesia dimaksudkan menghubungkan Bank (formal) dengan KSM (non formal) dalam bidang permodalan. Sejak diperkenalkan Bank Indo­nesia tahun 1988, skema HBK telah berjalan sangat baik, hingga September 2001, dilaksanakan di 23 propinsi, mencakup lebih dari 1000 kantor bank partisipan, 257 LPSM, 34.227 kelompok swadaya masyarakat dengan anggota sekitar 1.026.810 KK, menyalurkan kredit (akumulasi) Rp 331 milyar, memobilisasi tabungan beku (akumulasi) Rp 29,5 milyar, dan tingkat pengembalian kredit 97,3%.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian LSM mencakup dua kategori yaitu KSM dan LPSM. Disamping itu ada kategori ketiga yang disebut LSM Jaringan, yaitu suatu bentuk kerjasama antara LSM dalam bidang kegiatan atau minat tertentu, misalnya :
1. Sekretariat Bina Desa (SBD), berdiri 1974, merupakan forum dari LSM yang bekerja di kawasan pedesaan
2. Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), berdiri 1976, merupakan wadah kebersamaan LSM yang memusatkan perhatian pada upaya pelestarian lingkungan
3. Forum Indonesia untuk Keswadayaan Penduduk (FISKA), berdiri 1983, merupakan forum LSM yang bergerak dibidang kependudukan
4. Forum Kerjasama Pengembangan Koperasi (FORMASI), berdiri 1986, merupakan forum LSM yang bekerja mengembangkan koperasi
5. Forum Pengembangan Keswadayaan (Participatory Development Forum- PDF), berdiri 1991, merupakan peningkatan dari Forum Kerjasama LSM -- PBB (NGO - UN Cooperation Forum) yang didirikan pada 1988. PDF menggabungkan berbagai LSM berinteraksi dengan Pemerintah, dunia usaha dan badan-badan Internasional dalam suatu forum untuk mengembangkan peran serta berbagai aktor dalam pembangunan

MOTIVASI LSM
LSM tidak hanya muncul dalam dekade 70-an, ada pula yang telah berdiri pada dekade 50-an dan 60-an. Bahkan Budi Utomo dan Serikat Islam yang telah didirikan jauh lebih lama adalah LSM juga. Walaupun pada prinsipnya tujuan LSM dari berbagai jaman adalah sama yaitu mencapai tingkat kemandirian yang lebih tinggi dari masyarakat yang dilayani, tetapi mereka mempunyai motivasi kerja yang berbeda dari jaman ke jaman. LSM jaman penjaiahan didirikan dengan motivasi membebaskan diri dari kungkungan penjaiahan dengan upaya pendidikan dan usaha di bidang ekonomi. Sementara LSM dalam jaman Orde Lama menghadapi situasi yang berbeda. Penjajahan oleh bangsa asing sudah tiada, diganti dengan arus berbangsa dan bernegara yang kita kenal dengan istilah "politik komando" atau politik nomor satu. Pada situasi semacam itu motivasi LSM memperjuangkan agar pembangunan mendapat tempat yang memadai yaitu melalui upaya-upaya peningkatan keswadayaan rakyat kecil, para petani dan nelayan di desa-desa dan lain sebagainya sambil memperjuangkan suatu kebijakan yang kondusif bagi upaya-upaya tersebut dalam proses kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kemudian karena situasi dan kondisi berbeda, berbeda pula motivasi kerja LSM di jaman Orde Baru. Pada orde pembangunan ini, LSM berusaha mempersiapkan masyarakat agar berkemampuan memanfaatkan berbagai peluang yang muncul dari proses pembangunan meningkatkan keswadayaan mereka sehingga dapat berperan aktif dalam pembangunan nasional. Selanjutnya dari berbagai pengalaman pelayanan kepada masyarakat disusun model-model pendekatan yang dapat direkomendasikan untuk perbaikan pendekatan pembangunan yang sedang berjalan.

ORANG KECIL DAN LSM
Dalam proses pembangunan tersebut, LSM pada umumnya memusatkan perhatian kepada orang kecil. Mereka berada dalam situasi serba kekurangan yang dibalut oleh berbagai kondisi yang menekan kehidupan, yang satu sama lain saling berpengaruh dan mensejarah. Kondisi-kondisi tersebut antara lain adalah : lemahnya nilai tukar hasil produksi, lemahnya organisasi, rendahnya perkembangan sumberdaya manusia, rendahnya produktivitas, lemahnya akses dari hasil pembangunan, minimnya modal yang dimiliki, rendahnya pandapatan, sederhananya teknologi yang dimiliki, adanya kesenjangan antara kaya dan miskin, minimnya kemampuan berpartisipasi dalam sistem pembangunan nasional, lemahnya posisi tawar menawar. Kalau kondisi-kondisi tersebut dikaitkan satu sama lain dalam pola hubungan sebab akibat, maka muncullah wajah orang keeil yang serba kurang mampu berbentuk segitiga yang terdiri dari rendahnya pendapatan, adanya kesenjangan sosial yang semakin melebar dan rendahnya kemampuan berpartisipasi dalam sistem nasional. Kalau ditelusuri sebab-sebabnya maka yang menjadi sebab paling pokok adalah lemahnya pengembangan sumberdaya manusia.
Pada saat ini ada ratusan, bahkan ribuan LSM dengan full-timer. Ada yang lebih besar organisasinya dengan ratusan tenaga full-timer. Ada yang bekerja langsung melayani masyarakat kecil dengan memperkuat kemampuan mereka. Ada yang mengkhususkan kegiatan memperjuangkan kebijakan yang menguntungkan masyarakat bawah. Ada pula yang berusaha menjembatani berbagai sektor : yang kuat dengan yang lemah, yang formal dengan non formal, inti dan plasma, tradisional dan modern dan lain-lain. Dan ada pula yang melaksanakan hal-hal tersebut secara serempak. Sedang bidang kegiatan LSM saat ini meliputi kegiatan yang cukup luas, meliputi bidang-bidang lingkungan hidup, konsumen, bantuan hukum, pendidikan dan latihan, perhutanan sosial, pengairan, koperasi, penerbitan, kesehatan dan keluarga berencana, dan pengembangan pedesaan dan pertanian dan lain-lain.

LSM BIDANG PERTANIAN DAN PEDESAAN
Mungkin jumlah LSM yang bergerak dibidang pertanian dan pedesaan adalah yang terbanyak diantara LSM-LSM yang ada. Hal ini disebabkan karena mereka tergerak oleh kondisi yang memprihatinkan di desa-desa kita. Salah satu kondisi memprihatinkan adalah seperti yang dilukiskan Prof. Sayogyo [1]: “gambaran mengenai garis batas antara dunia ekonomi barat dan desa tradisional seperti dilukiskan Boeke, terletak antara 'kota' dan 'desa' kini telah bergeser ke tengah-tengah desa itu sendiri. Hal ini terwujud dengan adanya petani lapisan atas dengan pemilikan tanah rata-rata 1,16 ha yang mencakup unsur ‘kota’. Mereka tidak hanya merupakan kelas statistik, melainkan mempunyai arti sosiologis. Program-program pelayanan Pemerintah baik berupa BIMAS maupun kelembagaan baru koperasi, telah meningkatkan kemampuan mereka sebagai petani komersial, serta meningkatkan pendapatan mereka sedemikian rupa sehingga meninggalkan rekan-rekan petani gurem dan sering tak terjangkau oleh pelayanan Pemerintah dan sebaliknya mereka pun tak mampu menjangkau pelayanan itu."

Kegawatan masalah ekonomi dari petani lemah tidak hanya karena jumlahnya yang besar, tetapi juga karena celah pemisah yang makin melebar antara yang mampu dan yang tidak. Lebih lanjut Prof. Sayogyo (1979), mengatakan, "Partisipasi Masyarakat, khususnya golongan petani kita, adalah jalur strategik dalam seperangkat 8 jalur pemerataan pembangunan kita. Arti partisipasi golongan petani itu mesti kita kembangkan lebih lanjut, melampaui arti ikut melaksanakan dan ikut mengeyam hasil pembangunan yaitu dengan memberikan tanggung jawab yang dikerjakan secara berkelompok usaha bersama yang mereka bentuk sendiri, agar dengan kekuatan dan kesadaran yang dibina, lapisan yang tertinggal di dalam pembangunan kita dapat mengangkat diri kepada martabat yang lebih tinggi. Orang lain hanya dapat membantu proses itu, tak dapat melakukan untuk mereka."
Pengamatan Prof. Sayogyo tersebut diatas ikut membentuk visi yang mendasari kerangka kerja LSM bidang pertanian dan pedesaan. Untuk memutuskan tali-temali yang satu sama lain menjerat golongan petani miskin kita, diperlukan kebijakan, komitmen, organisasi dan kegiatan yang dapat memerangi kemiskinan dan keterbelakangan. Lebih dari itu, diperlukan juga suatu, sikap yang bersumber dari suatu pandangan bahwa mengatasi masalah kemiskinan tidak boleh memperlakukan orang miskin sekedar sebagai obyek dari upaya-upaya penanggulangan, tetapi harus memperlakukan mereka sebagai subyek. Hal ini bersumber dari keyakinan bahwa betapapun miskin seseorang, mereka bukannya tidak punya apa-apa sama sekali, melainkan bahwa mereka mempunyai sesuatu, walaupun sedikit. Mereka bukan “the have not”, melainkan “the have little”, kalau potensi mereka yang serba sedikit itu digalang dan dihimpun dalam suatu wadah kebersamaan yang mereka percaya dan kelompok-kelompok swadaya usaha bersama, maka mereka akan mampu mengatasi masalah-masalah mereka dengan kekuatan mereka sendiri..

KESWADAYAAN
Dengan keswadayaan kami maksudkan sebagai suatu kondisi yang memiliki sejumlah kemampuan untuk mengenali kekuatan dan kelemahan diri sendiri, serta kemampuan untuk memperhitungkan kesempatan-kesempatan dan ancaman yang ada di lingkungan sekitar, maupun kemampuan untuk memilih berbagai alternatif yang tersedia agar dapat dipakai untuk melangsungkan kehidupan yang serasi dan berlanjut.
Berswadaya secara individual bagi orang kecil lagi miskin sulit dilaksanakan, tetapi secara bersama dalam kelompok lebih berprospek. Karena itu prinsip-prinsip swadaya tersebut dalam rangka pembinaan orang kecil perlu dilaksanakan dalam wadah kelompok-kelompok swadaya. Betapapun di dalam masyarakat sudah ada kelompok-kelompok swadaya yang tumbuh dan berkembang secara tradisional. Kelompok-kelompok swadaya tersebut organisasinya sangat sederhana, peraturannya disusun dalam norma-norma yang tak tertulis, sedangkan penyelenggaraan kelompok tidak mengarah pada pemupukan modal swadaya. Karena itu kelompok-kelompok tradisional tidak berkemampuan mengatasi masalah-masalah kemiskinan yang laten. Untuk mengatasi masalah kemiskinan yang laten diperlukan unsur-unsur modern, memperkuat komponen yang ada pada kelompok swadaya.
Pengalaman penulis dalam penyelenggaraan LSM Bina Swadaya, menunjukkan perlunya pengetrapan secara konsisten tiga komponen yang merupakan acuan penyelenggaraan kelompok swadaya yaitu :
(1) Kelompok swadaya perlu berorientasi pada upaya peningkatan pendapatan. Dalam rangka ini perlu diupayakan terus-menerus pemahaman dan peningkatan penyelenggaraan ekonomi rumah tangga yang efektif, pemupukan modal swadaya serta pengembangan usahausaha produksi dan pemasaran.
(2) Kelompok swadaya perlu bersikap terbuka, yaitu terbuka terhadap gagasan-gagasan baru serta terbuka terhadap kerjasama baru untuk mencapai tingkat skala usaha yang lebih besar.
(3) Kelompok swadaya perlu diselenggarakan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan partisipasi yang tinggi di antara anggota. Dalam rangka ini perlu didorong agar pertemuan anggota dapat diselenggarakan secara ajeg dan teratur satu bulan atau satu minggu sekali, pengurus dipilih dari antara anggota, diselenggaraan secara teratur program pendidikan kader, administrasi yang tertib dan terbuka, serta perencanaan, pelaksanaan dan penilaian kegiatan secara partisipatif.
Untuk mencapai kemantapan dalam pengetrapan kerangka acuan tersebut, diperlukan proses pengentalan atau internalisasi di dalam kelompok swadaya dengan tahap-tahap : penggalian motivasi, konsolidasi organisasi, penumbuhan dan pengembangan usaha, dan pengembangan kemandirian kelompok.
Perkembangan kelompok untuk mencapai tingkat kematangannya akan dipercepat dengan kehadiran seorang pendamping yang mendapat dukungan dari Lembaga Pengembangan yang secara khusus membina kelompok sesuai dengan potensi dan kemungkinan-kemungkinan yang ada setempat. Upaya-upaya pendampingan ini akan mencapai hasil yang diharapkan apabila dikenali atau dipahami faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan penyelenggaraan kelompok swadaya.
Pengalaman menunjukkan ada 3 (tiga) faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan kelompok swadaya.
Pertama, faktor internal, yaitu faktor yang terdiri dari sub faktor anggota, sub faktor pengurus, sub faktor kegiatan dan sub faktor mekanisme kerja. Semakin berkembang anggota secara kualitatif dan kuantitatif, semakin tinggi dedikasi dan waktu yang tersedia serta kemampuan pengurus, semakin banyak kegiatan kelompok yang melayani kepentingan anggota dan semakin baik mekanisme kerja yang ada di dalam kelompok maka akan semakin berpeluang kelompok tersebut untuk berhasil.
Kedua, faktor eksternal yang terdiri dari sub faktor lingkungan sosial ekonomi, sub faktor hubungan dengan pamong dan sub faktor program pemerintah yang ditujukan untuk pengembangan wilayah dimana kelompok swadaya tersebut berada. Semakin besar potensi sosial ekonomi yang menunjang perkembangan kelompok swadaya tersebut, serta semakin baik hubungan kelompok swadaya dengan pamong setempat, dan adanya program-program pemerintah yang menguntungkan bagi pengembangan kelompok swadaya tersebut, maka kelompok swadaya itu akan berpeluang untuk berkembang dengan lebih baik.
Ketiga, faktor Lembaga Pengembangan yang meliputi sub faktor wawasan Lembaga Pengembangan, sub faktor organisasi Lembaga Pengembangan, dan sub faktor tenaga yang tersedia dari Lembaga Pengembangan tersebut. Semakin tepat wawasan Lembaga Pengembangan, serta semakin berkemampuan organisasi Lembaga Pengembangan, dan semakin tersedia tenaga yang berkemampuan untuk melayani kelompok swadaya, maka akan semakin berpeluang bagi kelompok swadaya untuk mencapai tingkat-tingkat keberhasilannya.

PERANAN DAN DAMPAK KEGIATAN LSM DALAM PEMBANGUNAN
Dengan memahami faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan penyelenggaraan kelompok swadaya, dapatlah kemudian disusun program-program pengembangan yang merupakan peran LSM untuk mendorong keberhasilan penyelenggaraan kelompok swadaya. Berdasarkan pengalaman ada 5 (lima) program pengembangan yang dapat disusun untuk mendorong keberhasilan kelompok swadaya yang disalurkan melalui tenaga-tenaga pendamping kelompok, yaitu :

(1) Program Pengembangan sumber daya manusia, meliputi berbagai kegiatan pendidikan dan latihan baik pendidikan dan latihan untuk anggota maupun untuk pengurus yang mencakup pendidikan dan letihan tentang ketrampilan mengelola kelembagaan kelompok, ketrampilan teknik produksi, maupun ketrampilan mengelola usaha.
(2) Program pengembangan kelembagaan kelompok, dengan membantu menyusun peraturan rumah tangga, mekanisme organisasi, kepengurusan, administrasi dan lain sebagainya.
(3) Program pemupukan modal swadaya, dengan membangun sistem tabungan dan kredit anggota serta menghubungkan kelompok swadaya tersebut dengan lembaga-lembaga keuangan setempat untuk mendapatkan manfaat bagi pemupukan modal lebih lanjut.
(4) Program pengembangan usaha, baik produksi maupun pemasaran, dengan berbagai kegiatan studi kelayakan, informasi pasar, organisasi produksi dan pemasaran dan lain-lain.
(5) Program penyediaan informasi tepat guna, sesuai dengan kebutuhan kelompok swadaya dengan berbagai tingkat perkembangannya. Informasi ini dapat berupa eksposure program, penerbitan buku-buku maupun majalah-majalah yang dapat memberikan masukan-masukan yang mendorong inspirasi ke arah inovasi usaha lebih lanjut.
Membawakan peran nyata dalam pembangunan pertanian dan pedesaan, dengan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan tersebut diatas, keberadaan LSM yang banyak itu akan berdampak positif seperti diuraikan dibawah ini:

a. Dampak dalam Aspek Sosial
Melalui proses pendidikan yang diberikan kepada kelompok swadaya diharapkan wawasan pemikiran mereka pun semakin meningkat; sehingga mempunyai kemampuan untuk memikirkan banyak alternatif dalam usaha mencukupi kebutuhan hidup. Peningkatan pendidikan yang terjadi pada kelompok swadaya dapat melalui dua jalur, yaitu secara langsung dan tidak langsung. Peningkatan pendidikan secara langsung terjadi apabila kelompok swadaya mendapatkan penyuluhan, pelatihan, konsultasi, dan sebagainya. Sedangkan, peningkatan pendidikan secara tidak langsung terjadi sejalan dengan terintegrasinya orang-orang desa dalam suatu kelompok swadaya. Melalui kelompok tersebut setiap anggota berinteraksi menumbuhkan kesadaran akan posisi mereka. Penyadaran diri merupakan langkah awal untuk memulai memikirkan alternatif-alternatif baru yang mungkin dapat ditempuh dalam usaha memperbaiki tingkat kehidupan. Di samping itu, dengan adanya kesadaran akan posisi yang dimilikinya menyebabkan kelompok swadaya berani memperjuangkan hak-hak mereka dengan mengaktualkan potensi yang ada pada mereka serta mengikis kelemahan-kelemahan yang ada.
Melalui aktifitas yang dilakukan, intervensi pembinaan membantu pemecahan permasalahan-permasalahan sosial yang terdapat dalam kelompok masyarakat. Melalui sistem pendekatan terlibat langsung dengan kelompok, pola pembinaan bersama kelompok yang bersangkutan mampu mengidentifikasikan permasalahan yang dihadapi secara mendalam. Akibatnya penanganan terhadap masalah yang dihadapi kelompok dapat dilakukan secara tepat sasaran dan lebih tuntas. Di Samping itu, berkat interaksi yang intens antara para pembina dengan kelompok, sementara para pembina telah dilatih secara khusus dan selalu diberikan masukan untuk meningkatkan kemampuannya dalam membina kelompok dan menghubungkannya dengan berbagai pelayanan setempat, maka terjadilah proses transformasi sosial.

b. Dampak dalam Aspek Ekonomi
Dalam, bidang ekonomi, intervensi pembinaan akan mampu mendorong masyarakat kecil untuk melakukan pemupukan modal. Selama ini faktor yang selalu dikemukakan tentang penyebab tidak berhasilnya masyarakat miskin dalam memperbaiki kehidupan adalah karena mereka tidak mampu untuk melakukan pemupukan modal yang dapat dipergunakan sebagai pengembangan usaha. Dengan sistem kelompok, maka modal yang kecil dari setiap warga dapat berkembang menjadi besar, sehingga dapat dipergunakan sebagai modal usaha. Di samping itu, dengan adanya modal yang terkumpul dapat mengundang partisipasi dana lebih besar dari pihak ketiga. Saat ini terbuka kemungkinan Bank melayani kelompok-kelompok swadaya yang berstatus non formal. Kemampuan permodalan kelompok yang semakin bertambah memberikan peluang semakin besar untuk mengembangkan usaha produktif.
Usaha produktif yang dilakukan kelompok menyebabkan terbukanya kesempatan kerja atau usaha bagi kelompok itu sendiri maupun masyarakat luas. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa satu usaha produktif yang dilakukan, misalnya peternakan atau industri kecil, tentu memerlukan usaha lain untuk menunjang keberhasilan usaha produktif pokok. Usaha-usaha lain dari usaha pokok inilah yang membuka kesempatan kerja baru (diversifikasi) dan peningkatan pendapatan warga masyarakat.

c. Dampak dalam Aspek Kemasyarakatan
Proses interaksi didalam kelompok dengan sesama anggota maupun dengan berbagai sumber pelayanan dan pembinaan semakin meningkatkan wawasan berbangsa dan bernegara. Adanya kelompok sebagai wadah mengaktualisasikan diri warga masyarakat pedesaan menyebabkan mereka merasa terlibat dalam proses pembangunan. Keterlibatan mereka dalam pembangunan tidak lagi pasif, tetapi menjadi aktif karena telah turut berusaha dalam berbagai kegiatan produktif yang memberikan andil dalam sistem perekonomian yang lebih luas.
Kesadaran untuk turut berperan serta dalam kegiatan kelompok tersebut mempunyai dampak lebih lanjut, yaitu adanya kesediaan mereka untuk berpartisipasi dalam program-program pembangunan yang ditawarkan pemerintah. Proses pengembangan kemandirian dan kesadaran berpartisipasi telah menjembatani kesenjangan sosial di tingkat lokal. Dengan menyempitnya kesenjangan sosial berarti stabilitas sosial politik pun dapat terus berlanjut. Sementara itu, pengalaman lapangan LSM yang merupakan hasil kaji tindak (participatory action research) dapat merupakan rekomendasi bagi perbaikan dan peningkatan dari pendekatan pembangunan.

CATATAN PENUTUP
Organisasi dan peran LSM mungkin masih berkembang. Namun tulisan singkat ini kiranya dapat dipakai sebagai sarana untuk memahami keberadaan LSM yang kini lagi menjamur. Pemahaman yang tepat mengenai suatu hal akan memudahkan orang menentukan sikap dan merencanakan langkah-langkah sesuai dengan peran masing-masing di dalam masyarakat. Juga untuk membedakan antara LSM murni (genuine), dengan yang tidak dan yang palsu.***

Drs. Bambang Ismawan, MS, Ketua Yayasan Bina Swadaya, Sekretaris Jenderal Gema PKM (Gerakan Bersama Pengembangan Keuangan Mikro) Indonesia dan Sekjen HKTI.

Mencari Mulia dalam Berasyik Masyuk

Penggandengan kata "agama" dan "senggama" pertama kalinya saya dengar di MP Book Point Cipete, Jakarta, dalam acara peluncuran memoar God's Call Girl, Sang Pelacur Tuhan (Voila Books). Memoar itu mengisahkan pergulatan hidup Carla Van Raay, mantan biarawati yang terjerumus dalam bisnis pekerja seks, lalu bertobat.Sungguh menarik dan mengejutkan telinga dan isi kepala ketika gagasan "agama" dan "senggama" ditelisik hubungannya. Apalagi, salah satu pembicaranya adalah seorang agamawan (yang berselibat; tidak bersenggama), Romo Haryatmoko, dosen filsafat lulusan Sorbonne, Perancis, yang kini mengajar di sejumlah universitas bergengsi di Tanah Air.Pengaitan "agama" dan "senggama" sendiri sebenarnya adalah sesuatu hal yang klasik, namun tak lepas dari kontroversi. Bagi tradisi budaya/masyarakat tertentu, agama diasosiasikan dengan "kesucian", sedangkan "senggama" diasosiasikan dengan "kekotoran" dan "dosa", atau setidaknya "tabu". Seks menjadi sesuatu hal yang tabu dibicarakan di depan umum karena "memalukan", sedangkan agama adalah hal yang selalu didengung-dengungkan/dirayakan dalam berbagai kesempatan, walaupun belum tentu diamalkan.Mungkin ini bedanya agama dan senggama: agama selalu dibicarakan, ritualnya dirayakan, tapi hakikatnya malas diamalkan. Senggama sebaliknya: tabu dibicarakan, tapi rajin diamalkan. Mengapa? Berbicara tentang agama adalah terpuji. Berbicara tentang seks dan senggama dianggap keji.Hanya orang-orang tertentu sajalah yang berhasil berpantang diri dari senggama, dan mampu menyalurkannya secara positif lewat sublimasi sehingga melahirkan kreativitas dan karya- karya yang hebat. Walhasil, seks dan agama selalu saja bergandengan, walaupun tidak selalu bersimbiosis dengan nyaman.Yesus, figur sentral dalam agama Kristen, dan nabi yang juga dimuliakan umat Islam, menerima dengan baik seorang mantan pekerja seks yang bertobat, yang lalu menjadi wanita terhormat. Perempuan ini bahkan begitu mencintai Yesus sehingga ia rela membasahi kaki gurunya tersebut dengan air matanya dan menyekanya dengan rambutnya. Kemudian, ia mencium kaki Yesus dan meminyakinya dengan minyak wangi (Lukas, 7:38). Kaum pria yang menyaksikan peristiwa tersebut menganggapnya sebagai pelecehan, tetapi Yesus sendiri tidak menganggapnya demikian.Dalam Islam, bersenggama bahkan berpahala, asal dilakukan istri dan suami. Bukankah kalau bersenggama dengan selain istri/suami sendiri adalah dosa? Maka, demikianlah, jika dilakukan sesuai tuntunan Tuhan, senggama mendatangkan ganjaran pahala. Menurut ajaran yang dibawa Nabi Muhammad SWA ini, agama bahkan berjalin erat dengan senggama. Bagaimana tidak? Bukankah salah satu kebaikan yang akan terus mengalir sampai hari kiamat adalah doa anak saleh kepada orangtua?Bahkan, fungsi rekreasi duniawi ini dikatakan sebagai "prolog" saja agar manusia semakin bersemangat mengejar kenikmatan surgawi yang jauh melampaui dimensi duniawi. Fungsi rekreasi suami-istri ini begitu ditekankan oleh Nabi. Beliau menasihati agar laki-laki tidak menghampiri para istri dengan semangat mementingkan diri sendiri. Namun, hendaknya memulai dengan mengirimkan "rasul-rasul" (utusan) pembawa "risalah" (pesan). Ketika para sahabatnya bingung dengan maksudnya, Rasul menegaskan bahwa "utusan dan pesan" itu berupa ciuman dan pelukan. Ini adalah komunikasi dialogis (timbal-balik) tubuh, sebagai hidangan awal sehingga sang istri siap memasuki hidangan utama. Jika "utusan dan pesan" ciuman dan pelukan ini diabaikan, para istri tidak akan merasa nyaman dan akan merasa hanya dimanfaatkan layaknya barang.Budaya patriarkiNamun, alangkah sayangnya ketika agama yang suci ini dikotori oleh persepsi dan budaya patriarki. Dengan persepsi patriarkis ini, perempuan selalu menjadi obyek penderita (yang sering kali benar-benar menderita), sedangkan laki-laki menjadi subyek pelaku yang "serbakuasa serbatahu". Seks menjadi alat dan simbol kuasa.Memang, laki-laki adalah imam/pemimpin di rumah tangganya. Namun, bias patriarki yang kental akan membuat kepemimpinannya tidak disertai tanggung jawab dan cinta. Ayat pemimpin itu (laki-laki adalah pemimpin bagi wanita, QS, 4:34) dicabut rohnya. Padahal, memimpin berarti mencintai yang dipimpin. Mencinta berarti memberi, bukan mengambil.Dalam perspektif patriarki, menjadi pemimpin dianggap sebagai hak. Padahal, dalam perspektif yang seimbang sesuai tuntunan Nabi dan Tuhan, menjadi pemimpin seyogianya terlebih dahulu dianggap sebagai kewajiban. Setelah kewajiban terlaksana, barulah hak diterima.Cinta adalah menunaikan tanggung jawab sebelum menuntut hak. Bahkan, cinta yang tulus murni tidaklah menuntut hak sama sekali. Ia hanya sibuk memberi. Dengan demikian, terjadi hubungan timbal-balik yang harmonis, saling melindungi jiwa dan raga. "Laki-laki adalah pakaian bagi perempuan, dan perempuan adalah pakaian bagi laki-laki" (QS, 2:87). Demikian Al Quran membimbing.Pakaian melindungi pemakainya dari panas dan hujan, melindungi kehormatan pemakainya, menimbulkan rasa nyaman, bahkan mempercantik dan mempergagahnya menjadi rupawan. Pakaian selalu lekat di badan. Hanya sekali-kali saja pakaian kita lepaskan. Demikian pula peran suami-istri. Suami- istri berupaya sekuat tenaga saling melekati, melindungi, mempercantik, mempergagah.Maka, tidak heran, dalam budaya masyarakat patriarki agama diselewengkan. Coba lihatlah film-film bioskop tema horor- setan. Atau sinetron-sinetron "religi" di teve-teve, yang dibuka dan ditutup dengan ceramah rohani. Sang ustadz dan agamawan selalulah laki-laki. Adapun Mak Lampir, pocong, kuntilanak, sundel bolong, hantu bangku kosong, suster ngesot, semuanya perempuan.Ke manakah perginya Pak Lampir? Abah bolong? Mantri ngesot? Mengapa hantu-hantu itu selalu perempuan? Dan, mengapa sang pengusir hantu itu selalu laki-laki agamawan? Ini adalah produk-produk budaya patriarki; segalanya dilihat dari perspektif laki-laki.Nasib perempuanBila ada laki-laki pecandu narkoba, atau mantan perampok, yang bertobat, lantas menjadi ustadz, maka masyarakat menyambut hangat. Adakah sambutan yang sama diberikan pada mantan pelacur-nista, yang berbalik mendalami agama? Berita seperti ini rasanya jarang sampai di telinga. Adakah masyarakat kita siap menerimanya? Sering kali kita sendiri yang menghalang-halangi saudari- saudari kita itu untuk kembali ke jalan suci. Dengan memakai standar ganda, "perempuan harus lebih bisa menahan diri dan lebih suci daripada laki- laki". Pria berdosa ditoleransi karena "manusiawi". Namun, jika wanita berdosa dicaci maki, bahkan sering kali oleh wanita sendiri.Dosa kejatuhan Adam ke bumi dipersalahkan pada Hawa. "Memang perempuanlah penyebab bencana-kejatuhan", begitulah mereka punya pernyataan. Maka, tidaklah heran jika setan-setan dan hantu di film bioskop maupun sinetron teve kebanyakan perempuan.Padahal, bukankah Adam juga tidak bisa menahan diri? Dan, menurut firman Tuhan dalam Al Quran, Adam dan Hawa justru sama-sama tidak dapat menahan diri (QS, 7:19-25). Jadi, sudah selayaknyalah jika diri sendirilah yang disesali. Tidak perlulah mengambinghitamkan istri, suami, atau siapa pun di luar diri. "Hitung-hitunglah diri," demikian wasiat sang sufi, Abdul Harits Al-Muhasibi."Jangan mengambinghitamkan keadaan," itulah pula hikmah yang dipetik oleh Romo Haryatmoko dari kisah Carla van Raay di atas; kisah sang mantan biarawati yang terperosok ke dalam bisnis pelacuran, namun akhirnya sadar kembali ke jalan yang benar.Carla memang pernah diperkosa ayah kandungnya sendiri; pengalaman yang pasti selalu membekas jika ia berhubungan dengan laki-laki. Ia ingin lari dari derita, lalu masuk biara. Namun, ketika kedamaian tak kunjung tersua, ia justru menyalahkan biara dan agama. Dan, karena impitan ekonomi, terpaksa ia mengambil jalan dengan melanggar susila demi melayani nafsu pria.Carla adalah korban determinasi psikologis yang diciptakannya sendiri, dengan "bantuan" kejahatan dan penderitaan yang menimpanya. Nasib buruk yang beruntun menimpa hidupnya menjadikannya berputus asa meraih kebaikan. "Mungkin sudah nasibku masuk dalam lembah hitam, maka sekalian saja harus kuhayati, nikmati, dan jalani peran dan suratan kehidupan". (Bahkan, manusia pun mencari makna dalam kejahatan yang dia lakukan!). Bukankah kita tetap dapat meraih keselamatan, tanpa harus mengabaikan kesenangan- kesenangan karunia Tuhan?Ilham D Sannang Editor Sebuah Penerbit di Bandung

Prof Dr Mubyarto

Mubyarto, kelahiran Yogyakarta, 3 September 1938, meninggalkan seorang istri, Sri Hartati; empat anak, dan enam cucu pada Selasa (24/5) pukul 13.49. Guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada itu mengembuskan napas terakhir setelah empat hari dirawat secara intensif karena menderita paru-paru basah dan serangan jantung ringan.
Ekonomi Pancasila
Kolega dekatnya, Prof Dr Edy Suandi Hamid, yang sudah mengenal Pak Muby selama 30 tahun, menjelaskan, almarhum menderita sakit serupa sejak tahun 1987 dan juga pernah dirawat di RSU Sardjito. Sejak saat itu Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila (Pustep) UGM itu tidak lepas dari obat.
Menurut Edy yang juga ekonom Pustep, Pak Muby semasa hidupnya dikenal sebagai ekonom yang konsisten dengan pemikiran Ekonomi Pancasila.
"Meskipun pemikiran beliau tidak mendapat dukungan dari kalangan akademisi di fakultasnya sendiri, banyak pemerintah daerah yang meminta beliau untuk menerapkan pemikirannya dalam pembangunan daerah," ungkap Edy.
Guru sejati
Jusuf Kalla menilai Mubyarto sebagai tokoh yang konsisten terhadap pendirian serta low profile. Peran Mubyarto, lanjutnya, cukup besar dalam agenda pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pemerataan, seperti menyusun program Inpres Desa Tertinggal (IDT). "Beliau seorang guru sejati, yang peduli pada ekonomi kerakyatan dan pedesaan," ujar Kalla.
Sultan HB X mengakui, selain sebagai ilmuwan sejati, bantuan almarhum cukup besar terhadap perkembangan Provinsi DIY. Almarhum dinilai sangat peduli terhadap studi-studi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat serta pemerataan pembangunan.
"Saya punya banyak kenangan dengan beliau, dan beliau betul-betul orang yang teguh pada prinsip dan keyakinannya," ungkap Sultan.
Konsisten
Di mata bekas mahasiswanya yang kini menjadi asistennya, Drs Revrisond Baswir MBA, Mubyarto merupakan guru yang konsisten pada pemikiran Mohammad Hatta.
Pemikiran Mubyarto juga dinilai tidak nyleneh (menyimpang), melainkan berlandaskan pada Pancasila dan Pasal 33 UUD 1945. Dalam kacamata Mubyarto, ekonomi tidak hanya dipahami sebagai aspek hitung-hitungan semata, melainkan juga aspek sosiologi dan antropologi.
Semasa hidupnya, Prof Dr Mubyarto pernah menjadi anggota MPR periode 1987-1999, selain menjadi dosen di Fakultas Ekonomi UGM (1959-2003) serta sebagai Kepala Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan (P3PK) UGM tahun 1983-1994.
Di struktur pemerintahan pusat, Mubyarto pernah menjabat sebagai staf ahli di kementerian, yaitu penasihat Menteri Perdagangan (1968-1971), asisten Menteri Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (1993-1998), dan staf ahli Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Keuangan, dan Industri pada tahun yang sama. Jabatan terakhir Mubyarto sejak tahun 2002 adalah Kepala Pustep UGM.

Program P2KP

1.1. Latar Belakang

1.1.1. Gejala-Gejala Kemiskinan

Permasalahan kemiskinan di Indonesia sudah sangat mendesak untuk ditangani. Khususnya di wilayah perkotaan, salah satu ciri umum dari kondisi fisik masyarakat miskin adalah tidak memiliki akses ke prasarana dan sarana dasar lingkungan yang memadai, dengan kualitas perumahan dan permukiman yang jauh dibawah standar kelayakan serta mata pencaharian yang tidak menentu.

Disadari bahwa selama ini banyak pihak lebih melihat persoalan kemiskinan hanya pada tataran gejala-gejala yang tampak terlihat dari luar atau di tataran permukaan saja, yang mencakup multidimensi, baik dimensi politik, sosial, ekonomi, aset dan lain-lain. Dalam kehidupan sehari-hari dimensi-dimensi dari gejala-gejala kemiskinan tersebut muncul dalam berbagai bentuknya, seperti antara lain :
a) Dimensi politik, sering muncul dalam bentuk tidak dimilikinya wadah/organisasi yang mampu memperjuangkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat miskin, sehingga mereka benar-benar tersingkir dari proses pengambilan keputusan penting yang menyangkut diri mereka. Akibatnya, mereka juga tidak memiliki akses yang memadai ke berbagai sumber daya kunci yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan hidup mereka secara layak, termasuk akses informasi;
b) Dimensi sosial, sering muncul dalam bentuk tidak terintegrasikannya warga miskin ke dalam institusi sosial yang ada, terinternalisasikannya budaya kemiskinan yang merusak kualitas manusia dan etos kerja mereka, serta pudarnya nilai-nilai kapital sosial;
c) Dimensi lingkungan, sering muncul dalam bentuk sikap, perilaku dan cara pandang yang tidak berorientasi pada pembangunan berkelanjutan, sehingga cenderung memutuskan dan melaksanakan kegiatan-kegiatan yang kurang menjaga kelestarian dan perlindungan lingkungan serta permukiman.
d) Dimensi ekonomi, muncul dalam bentuk rendahnya penghasilan sehingga tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sampai batas yang layak; dan
e) Dimensi aset, hal ini ditandai dengan rendahnya tingkat kepemilikan masyarakat miskin dalam berbagai hal yang mampu menjadi modal hidup mereka, termasuk aset kualitas sumberdaya manusia (human capital), peralatan kerja, modal dana, hunian atau perumahan dan sebagainya.


Orientasi berbagai program penanggulangan kemiskinan yang hanya menitikberatkan pada salah satu dimensi dari gejala-gejala kemiskinan tersebut, pada dasarnya mencerminkan pendekatan program yang bersifat parsial, sektoral, charity serta tidak menyentuh akar penyebab kemiskinan itu sendiri. Akibatnya program-program dimaksud tidak mampu menumbuhkan kemandirian masyarakat yang pada akhirnya tidak dapat mewujudkan aspek keberlanjutan (sustainability) dari program–program penanggulangan kemiskinan tersebut.

1.1.2. Akar Penyebab Kemiskinan

Berbagai program kemiskinan terdahulu yang bersifat parsial, sektoral dan charity dalam kenyataannya sering menghadapi kondisi yang kurang menguntungkan, misalnya salah sasaran, terciptanya benih-benih fragmentasi sosial, dan melemahkan nilai-nilai kapital sosial yang ada di masyarakat (gotong royong, musyawarah, keswadayaan dll). Lemahnya nilai-nilai kapital sosial pada gilirannya juga mendorong pergeseran perubahan perilaku masyarakat yang semakin jauh dari semangat kemandirian, kebersamaan dan kepedulian untuk mengatasi persoalannya secara bersama.
Kondisi kapital sosial serta perilaku masyarakat yang yang melemah serta memudar tersebut salah satunya disebabkan oleh keputusan, kebijakan dan tindakan dari pengelola program kemiskinan dan pemimpin-pemimpin masyarakat yang selama ini cenderung tidak adil, tidak transparan dan tidak tanggunggugat (tidak pro poor dan good governance oriented). Sehingga menimbulkan kecurigaan, stereotype dan skeptisme di masyarakat.
Keputusan, kebijakan dan tindakan yang tidak adil ini biasanya terjadi pada situasi tatanan masyarakat yang belum madani, dengan salah satu indikasinya dapat dilihat dari kondisi kelembagaan masyarakat yang belum berdaya, yang tidak berorientasi pada keadilan, tidak dikelola dengan jujur dan tidak ikhlas berjuang bagi kepentingan masyarakat.
Kelembagaan masyarakat yang belum berdaya pada dasarnya disebabkan oleh karakterisitik lembaga masyarakat tersebut yang cenderung tidak mengakar, dan tidak representatif. Di samping itu, ditengarai pula bahwa berbagai lembaga masyarakat yang ada saat ini, dalam beberapa hal, lebih berorientasi pada kepentingan pihak luar masyarakat atau bahkan untuk kepentingan pribadi dan kelompok tertentu, sehingga mereka kurang memiliki komitmen dan kepedulian pada masyarakat di wilayahnya, terutama masyarakat miskin. Dalam kondisi ini akan semakin mendalam krisis kepercayaan masyarakat terhadap berbagai lembaga masyarakat yang ada di wilayahnya.
Kondisi kelembagaan masyarakat yang tidak mengakar, tidak representatif dan tidak dapat dipercaya tersebut pada umumnya tumbuh subur dalam situasi perilaku/sikap masyarakat yang belum berdaya. Ketidakberdayaan masyarakat dalam menyikapi dan menghadapi situasi yang ada di lingkungannya, yang pada akhirnya mendorong sikap masa bodoh, tidak peduli, tidak percaya diri, mengandalkan bantuan pihak luar untuk mengatasi masalahnya, tidak mandiri, serta memudarnya orientasi moral dan nilai-nilai luhur dalam kehidupan bermasyarakat, yakni terutama keikhlasan, keadilan dan kejujuran.
Dengan demikian, dari paparan di atas, cukup jelas menunjukkan bahwa situasi kemiskinan akan tumbuh subur dalam situasi perilaku/sikap dan cara pandang (paradigma) masyarakat yang belum berdaya.
Oleh karena itu, P2KP memahami bahwa akar penyebab dari persoalan kemiskinan yang sebenarnya adalah karena kondisi masyarakat yang belum berdaya dengan indikasi kuat yang dicerminkan oleh perilaku/sikap/cara pandang masyarakat yang tidak dilandasi pada nilai-nilai universal kemanusiaan (jujur, dapat dipercaya, ikhlas, dll) dan tidak bertumpu pada prinsip-prinsip universal kemasyarakatan (transparansi, akuntabilitas, partisipasi, demokrasi, dll),

1.1.3. Penanganan Akar Penyebab Kemiskinan

Pemahaman mengenai akar penyebab dari persoalan kemiskinan seperti di atas telah menyadarkan berbagai pihak bahwa pendekatan dan cara yang dipilih dalam penanggulangan kemiskinan selama ini perlu diperbaiki, yaitu ke arah perubahan perilaku/sikap dan cara pandang masyarakat yang senantiasa berlandaskan pada nilai-nilai universal kemanusiaan (moral), prinsip-prinsip kemasyarakatan (good givernance) dan pilar-pilar pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Perubahan perilaku/sikap dan cara pandang masyarakat ini merupakan pondasi yang kokoh bagi terbangunnya lembaga masyarakat yang mandiri, melalui pemberdayaan para pelaku-pelakunya, agar mampu bertindak sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia luhur yang mampu menerapkan nilai-nilai luhur dalam kehidupan bermasyarakatnya sehari-hari.
Kemandirian lembaga masyarakat ini dibutuhkan dalam rangka membangun lembaga masyarakat yang benar-benar mampu menjadi wadah perjuangan kaum miskin, yang mandiri dan berkelanjutan dalam menyuarakan aspirasi serta kebutuhan mereka dan mampu mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kebijakan publik di tingkat lokal agar lebih berorientasi ke masyarakat miskin (“pro poor”) dan mewujudkan tata kepemerintahan yang baik (“good governance”), baik ditinjau dari aspek ekonomi ,lingkungan - termasuk perumahan dan permukiman, maupun sosial.

1.1.4. P2KP Memfasilitasi Masyarakat serta Pemerintah Daerah Untuk Mampu Menangani Akar Penyebab Kemiskinan Secara Mandiri dan Berkelanjutan
Gambaran lembaga masyarakat seperti dimaksud di atas hanya akan dicapai apabila orang-orang yang diberi amanat sebagai pemimpin masyarakat tersebut merupakan kumpulan dari orang-orang yang peduli, memiliki komitmen kuat, ikhlas, relawan dan jujur serta mau berkorban untuk kepentingan masyarakat miskin, bukan untuk mengambil keuntungan bagi kepentingan pribadi maupun kelompoknya. Tentu saja hal ini bukan merupakan suatu pekerjaan yang mudah, karena upaya-upaya membangun kepedulian, kerelawanan, komitment tersebut pada dasarnya terkait erat dengan proses perubahan perilaku masyarakat.
Dalam hal ini, P2KP meyakini bahwa pendekatan yang lebih efektif untuk mewujudkan proses perubahan perilaku masyarakat adalah melalui pendekatan pemberdayaan atau proses pembelajaran (edukasi) masyarakat dan penguatan kapasitas untuk mengedepankan peran pemerintah daerah dalam mengapresiasi dan mendukung kemandirian masyarakatnya.
Kedua substansi P2KP tersebut sangat penting sebagai upaya proses transformasi P2KP dari 'tataran Proyek' menjadi 'tataran program" oleh masyarakat bersama pemerintah daerah setempat. Bagaimanapun harus disadari bahwa upaya dan pendekatan penanggulangan kemiskinan tidak hanya menjadi perhatian pemerintah pusat, melainkan justru yang terpenting harus menjadi prioritas perhatian dan kebutuhan masyarakat bersama pemerintah daerah itu sendiri.
Substansi P2KP sebagai proses pemberdayaan dan pembelajaran masyarakat dilakukan dengan terus menerus untuk menumbuhkembangkan kesadaran kritis masyarakat terhadap nilai-nilai universal kemanusiaan, prinsip-prinsip kemasyarakatan dan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan sebagai landasan yang kokoh untuk membangun masyarakat yang mandiri dan sejahtera. Proses pembelajaran di tingkat masyarakat ini berlangsung selama masa Program P2KP maupun pasca Program P2KP oleh masyarakat sendiri dengan membangun dan melembagakan Komunitas Belajar Kelurahan (KBK).
Dengan demikian, penguatan lembaga masyarakat yang dimaksud P2KP terutama dititikberatkan pada upaya penguatan pelakunya untuk mampu menjadi pelaku nilai dan pada gilirannya mampu menjadi motor penggerak dalam ‘melembagakan’ dan ‘membudayakan’ kembali nilai-nilai universal kemanusiaan (gerakan moral), prinsip-prinsip kemasyarakatan (gerakan good governance) serta prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (gerakan Tridaya), sebagai nilai-nilai utama yang melandasi aktivitas penanggulangan kemiskinan oleh masyarakat setempat.
Melalui lembaga masyarakat tersebut diharapkan tidak ada lagi kelompok masyarakat yang masih terjebak dalam lingkaran kemiskinan, yang pada gilirannya diharapkan dapat tercipta lingkungan perkotaan dengan perumahan yang lebih layak huni di dalam permukiman yang lebih responsif dan dengan sistem sosial masyarakat yang lebih mandiri melaksanakan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.
Sedangkan substansi P2KP sebagai penguatan kapasitas pemerintah daerah dalam rangka mengedepankan peran dan tanggungjawab pemerintah daerah, dilakukan melalui; pelibatan intensif Pemda pada pelaksanaan siklus kegiatan P2KP, penguatan peran dan fungsi Komite Penanggulangan Kemiskinan Daerah (KPK-D) agar mampu menyusun Dokumen Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPK-D) dan PJM Pronangkis Kota/kab berbasis program masyarakat (Pronangkis Kelurahan), serta melembagakan Komunitas Belajar Perkotaan (KBP).
Selain itu, P2KP juga mendorong kemandirian dan kemitraan masyarakat bersama pemerintah daerah dalam penanggulangan kemiskinan di perkotaan yang telah dilakukan melalui Program PAKET. Namun, untuk lebih menjamin kapasitas kemandirian masyarakat dan pemda agar mampu menangani kemiskinan di wilayahnya, maka perlu didorong upaya-upaya menuju tatanan kepemerintahan yang baik (good governance).

Dalam pelaksanaan P2KP, Pemda tidak hanya menjalankan fungsi monitoring, koordinasi serta legitimasi semata, namun juga didorong agar dapat berperan sebagai fasilitator, dinamisator, nara sumber dan pelaksana untuk beberapa kegiatan tertentu di tingkat kota/kabupaten, seperti KBP, penguatan KPK-D, PAKET, dll, yang dalam pelaksanaannya akan difasilitasi intensif KMW.
Dalam kerangka pemikiran tersebut, maka pada P2KP dilengkapi pula dengan komponen kegiatan penataan lingkungan permukiman terpadu (neighbourhood development) berbasis tata pengelolaan pelayanan publik yang baik. Dengan demikian, sasaran upaya penanggulangan kemiskinan melalui P2KP dilakukan secara terpadu baik pada aspek manusia, komunitas dan lingkungannya (hunian dan penghuninya).
Semua pendekatan yang dilakukan P2KP di atas, baik fasilitasi di level masyarakat maupun di level pemerintah kota/kabupaten, ditujukan untuk mendorong proses percepatan terbangunnya landasan yang kokoh bagi terwujudnya kemandirian penanggulangan kemiskinan dan juga melembaganya pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Dengan demikian, pelaksanaan P2KP sebagai “gerakan bersama membangun kemandirian dan pembangunan berkelanjutan yang berbasis nilai-nilai universal” diyakini akan mampu membangun kesadaran kritis dan perubahan perilaku individu ke arah yang lebih baik. Perubahan perilaku individu yang secara kumulatif menimbulkan perubahan kolektif masyarakat inilah yang menjadi inti pendekatan TRIDAYA, yakni proses pemberdayaan masyarakat agar terbangun: daya sosial sehingga tercipta masyarakat efektif, daya ekonomi sehingga tercipta masyarakat produktif dan daya pembangunan sehingga tercipta masyarakat pembangunan yang peduli lingkungan dan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.
Upaya penanggulangan kemiskinan di perkotaan akan lebih efektif bila dapat dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah daerah setempat secara mandiri dan berkelanjutan. Hal ini berarti masyarakat dan pemerintah daerah setempat telah mampu mentransformasi P2KP dari "Skema Proyek" menjadi "Skema Program".
Kemandirian dan tatanan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) tersebut dapat diwujudkan melalui penguatan kapasitas masing-masing pelaku dan kemitraan antara keduanya, yang bertumpu pada 3 (tiga) pondasi utama, yakni: Nilai-Nilai Universal Kemanusiaan (Berbasis Nilai/Moral), Prinsip-Prinsip Kemasyarakatan yang mengacu pada tata kepemerintahan yang baik (Good Governance) dan Prinsip-prinsip Pembangunan Berkelanjutan (Tri-Daya).
Artinya, P2KP diharapkan dapat menjadi “gerakan kemandirian penanggulangan kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan”, yang bertumpu pada nilai-nilai luhur dan prinsip-prinsip universal di atas.


1.2. VISI DAN MISI P2KP

Mengingat bahwa Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) adalah landasan dan pemicu tumbuhnya gerakan pembangunan berkelanjutan dalam penanggulangan kemiskinan di perkotaan, maka diperlukan rumusan visi dan misi yang jelas sehingga dapat dipakai sebagai acuan perilaku dan arahan bagi semua pelaku P2KP maupun bagi para pihak (stakeholders) dalam mengembangkan program-program kemiskinan di wilayahnya.

1.2.1. Visi

Terwujudnya masyarakat madani, yang maju, mandiri, dan sejahtera dalam lingkungan permukiman sehat, produktif dan lestari.

1.2.2. Misi

Membangun masyarakat mandiri yang mampu menjalin kebersamaan dan sinergi dengan pemerintah maupun kelompok peduli setempat dalam menanggulangi kemiskinan secara efektif dan mampu mewujudkan terciptanya lingkungan permukiman yang tertata, sehat, produktif dan berkelanjutan.


1.3. NILAI-NILAI DAN PRINSIP-PRINSIP YANG MELANDASI P2KP

Sejalan dengan substansi konsep Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) bahwa persoalan kemiskinan dapat ditanggulangi dengan terwujudnya pembangunan berkelanjutan yang berlandaskan nilai-nilai luhur kemanusiaan, prinsip-prinsip kemasyarakatan yang bersifat universal dan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, maka rumusan nilai-nilai yang melandasi pelaksanaan P2KP adalah sebagai berikut:

1.3.1. Nilai-Nilai Universal Kemanusiaan (Gerakan Moral)

Nilai-nilai universal kemanusiaan yang harus dijunjung tinggi, ditumbuhkembangkan dan dilestarikan oleh semua pelaku P2KP (baik masyarakat, konsultan, pemerintah, maupun kelompok peduli), dalam melaksanakan P2KP adalah :

1) Jujur; dalam proses pengambilan keputusan, pengelolaan dana serta pelaksanaan kegiatan P2KP harus dilakukan dengan jujur, sehingga tidak dibenarkan adanya upaya-upaya untuk merekayasa, memanipulasi maupun menutup-nutupi sesuatu, yang dapat merugikan masyarakat miskin serta menyimpang dari visi, misi dan tujuan P2KP. Tanpa adanya kejujuran tidak mungkin ada kemajuan yang berkelanjutan dalam bidang apapun;
2) Dapat dipercaya; semua pihak yang terkait dengan pelaksanaan P2KP harus benar-benar dapat menjaga kepercayaan yang diberikan masyarakat maupun pemerintah untuk menerapkan aturan main P2KP dengan baik dan benar. Dengan demikian, pemilihan pelaku-pelaku P2KP di tingkat masyarakat pun, harus menghasilkan figur-figur yang benar-benar dipercaya masyarakat sendiri, bukan semata mempertimbangkan status sosial, pengalaman serta jabatan;
3) Ikhlas/kerelawanan; dalam melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan P2KP benar-benar berlandaskan niat ikhlas untuk turut memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin yang ada di wilayahnya, dan tidak mengharapkan imbalan materi, jasa, maupun mengutamakan kepentingan pribadi serta golongan atau kelompoknya;
4) Adil; dalam menetapkan kebijakan dan melaksanakan P2KP harus menekankan asas keadilan (fairness), kebutuhan nyata dan kepentingan masyarakat miskin. Keadilan dalam hal ini tidak berarti sekedar pemerataan;
5) Kesetaraan; dalam pelibatan masyarakat pada pelaksanaan dan pemanfaatan P2KP, tidak membeda-bedakan latar belakang, asal usul, agama, status, maupun jenis kelamin dan lain-lainnya. Semua pihak diberi kesempatan yang sama untuk terlibat dan/atau menerima manfaat P2KP, termasuk dalam proses pengambilan keputusan;
6) Kesatuan dalam keragaman; dalam melaksanakan kegiatan penanggulangan kemiskinan perlu dioptimalkan gerakan masyarakat, melalui kebersamaan dan kesatuan masyarakat, sehingga kemiskinan benar-benar menjadi urusan semua warga masyarakat dari berbagai latar belakang, suku, agama, mata pencaharian, budaya, pendidikan dan sebagainya dan bukan hanya menjadi urusan dari masyarakat miskin atau pelaku P2KP atau sekelompok elit saja.


1.3.2. Prinsip-Prinsip Universal Kemasyarakatan
Prinsip-prinsip universal kemasyarakatan yang mengacu pada tata kepemerintahan yang baik (Good Governance) yang harus dijunjung tinggi, ditumbuhkembangkan dan dilestarikan oleh semua pelaku P2KP (baik masyarakat, konsultan, maupun pemerintah), dalam melaksanakan P2KP adalah :
1) Demokrasi; dalam setiap proses pengambilan keputusan apapun, musyawarah harus menjadi alat terkuat dan pilar utama dalam menjalankan suatu proses demokrasi. Terlebih lagi apabila dalam hal pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan masyarakat banyak, terutama kepentingan masyarakat miskin, maka mekanisme pengambilan keputusan dilakukan secara kolektif dan demokratis, dengan mengutamakan musyawarah.
Kemampuan masyarakat bermusyawarah, yang dilandasi kesadaran kritis untuk senantiasa menuju kebaikan bersama, pada hakekatnya merupakan manifestasi tertinggi dari suatu kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, P2KP mendorong masyarakat agar dapat mengutamakan dan mendasarkan keputusan melalui mekanisme musyawarah, agar mampu membangun dan memperkuat lembaga pimpinan kolektif masyarakat dengan representasi, yang akseptabel, inklusif, transparan, demokratis dan akuntabel;
2) Partisipasi; dalam tiap langkah kegiatan P2KP harus dilakukan secara partisipatif sehingga mampu membangun rasa kepedulian dan kepemilikan serta proses belajar melalui bekerja bersama. Partisipasi dibangun dengan menekankan proses pengambilan keputusan oleh warga, mulai dari tataran ide/gagasan, perencanaan, pengorganisasian, pemupukan sumber daya, pelaksanaan hingga evaluasi dan pemeliharaan. Partisipasi juga berarti upaya melibatkan segenap komponen masyarakat, khususnya kelompok yang rentan (vulnerable groups), yang selama ini tidak memiliki peluang/akses dalam program/kegiatan setempat;
3) Transparansi dan Akuntabilitas; dalam proses manajemen Program maupun manajemen organisasi masyarakat harus menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas, sehingga masyarakat belajar dan “melembagakan” sikap bertanggung jawab serta tanggung gugat terhadap pilihan keputusan dan kegiatan yang dilaksanakannya. Termasuk terbuka untuk diperiksa oleh BPKP, auditor atau pemeriksaan oleh masyarakat sendiri dan pihak terkait lainnya, serta menyebarluaskan hasil pemeriksaan dan audit tersebut ke masyarakat, pemerintah, lembaga donor serta pihak-pihak lainnya;
4) Desentralisasi; dalam proses pengambilan keputusan yang langsung menyangkut kehidupan dan penghidupan masyarakat agar dilakukan sedekat mungkin dengan pemanfaat atau diserahkan pada masyarakat sendiri, sehingga keputusan yang dibuat benar-benar bermanfaat bagi masyarakat banyak.

1.3.3. Prinsip-Prinsip Universal Pembangunan Berkelanjutan (Tridaya)
Pada dasarnya pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang tidak menimbulkan persoalan baru, bersifat adil intra generasi dan inter generasi. Oleh sebab itu prinsip-prinsip universal pembangunan berkelanjutan harus merupakan prinsip keseimbangan pembangunan, yang dalam kasus P2KP diterjemahkan sebagai sosial, ekonomi dan lingkungan yang tercakup dalam konsep Tridaya. Jadi prinsip-pinsip pembangunan berkelanjutan yang harus dijunjung tinggi, ditumbuhkembangkan dan dilestarikan oleh semua pelaku P2KP (baik masyarakat, konsultan, maupun pemerintah), dalam melaksanakan P2KP adalah melalui penerapan konsep Tridaya sebagai berikut.

1) Perlindungan Lingkungan (Environmental Protection); dalam pengambilan keputusan maupun pelaksanaan kegiatan yang menyangkut kepentingan masyarakat banyak, terutama kepentingan masyarakat miskin, maka didorong agar keputusan dan pelaksanaan kegiatan tersebut berorientasi pada upaya perlindungan/pemeliharaan lingkungan baik lingkungan alami maupun buatan termasuk perumahan dan permukiman, yang harus layak, terjangkau, sehat, aman, teratur, serasi dan produktif. Termasuk didalamnya adalah penyediaan prasarana dan sarana dasar perumahan yang kondusif dalam membangun solidaritas sosial dan meningkatkan kesejahteraan penduduknya.

2) Pengembangan Masyarakat (Social Development); tiap langkah kegiatan P2KP harus selalu berorientasi pada upaya membangun solidaritas sosial dan keswadayaan masyarakat sehingga dapat tercipta masyarakat efektif secara sosial sebagai pondasi yang kokoh dalam upaya menanggulangi kemiskinan secara mandiri dan berkelanjutan. Pengembangan masyarakat juga berarti upaya meningkatkan potensi segenap unsur masyarakat, terutama kelompok masyarakat yang rentan (vulnerable groups) dan marjinal yang selama ini tidak memiliki peluang/akses dalam program/kegiatan setempat;

3) Pengembangan Ekonomi (Economic Development); dalam upaya menyerasikan kesejahteraan material, maka upaya-upaya kearah peningkatan kapasitas dan keterampilan masyarakat miskin dan atau penganggur perlu mendapat porsi khusus termasuk upaya untuk mengembangkan peluang usaha dan akses kesumberdaya kunci untuk peningkatan pendapatan, dengan tetap memperhatikan dampak lingkungan fisik dan sosial.

Prinsip-prinsip universal pembangunan berkelanjutan tersebut pada hakekatnya merupakan pemberdayaan sejati yang terintegrasi, yaitu pemberdayaan manusia seutuhnya agar mampu membangkitkan ketiga daya yang telah dimiliki manusia secara integratif, yaitu daya pembangunan agar tercipta masyarakat yang peduli dengan pembangunan perumahan dan permukiman yang berorietasi pada kelestarian lingkungan, daya sosial agar tercipta masyarakat efektif secara sosial, dan daya ekonomi agar tercipta masyarakat produktif secara ekonomi.


Diyakini bahwa pelaksanaan P2KP sebagian besar akan sangat ditentukan oleh individu-individu dari pelaksana, pemanfaat, maupun pelaku-pelaku P2KP lainnya. Oleh karena itu, dengan memberdayakan individu-individu tersebut diharapkan dapat membangun kesadaran kritis dan perubahan perilaku yang positif, mandiri dan merdeka berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Perubahan perilaku individu inilah yang menjadi pilar bagi perubahan perilaku kolektif, sehingga pada akhirnya masyarakat (kumpulan-kumpulan individu yang memiliki kesadaran kritis) mampu membangun dan menumbuhkembangkan keberdayaan masyarakat dalam bidang pembangunan lingkungan, sosial dan ekonomi..


1.4. KARAKTERISTIK KHAS P2KP

Karakteristik khas P2KP yang menyebabkan P2KP berbeda dengan Program-Program sejenis yang lain, terletak pada asumsi dasar tentang masyarakat ataupun pemerintah, tantangan, pendekatan dan implementasi sebagai berikut di bawah ini.

1) Asumsí dasar di P2KP

Asumsi dasar di P2KP adalah bahwa akar persoalan kemiskinan pada dasarnya terkait erat dengan perilaku/sikap dan cara pandang manusia (individu) atau sifat kemanusiaan seseorang, yang kemudian mempengaruhi perilaku/sikap dan cara pandang secara kolektif (masyarakat) atau prinsip-prinsip hidup bermasyarakat, sebagaimana dijelaskan pada Gambar 1.4. di bawah ini:

Gambar 1.4. Asumsi Dasar di P2KP

Akar Kemiskinan Tumbuh Subur....,
Karena:
Semakin Lunturnya Keadilan.....
Semakin Lunturnya Kejujuran....
Semakin Lunturnya Keikhlasan...
Semakin Lunturnya Kepercayaan...
Semakin Lunturnya Kepedulian....
Semakin Lunturnya Kesatuan.....
Semakin Lunturnya Kebersamaan dan Solidaritas Sosial.....
Tegasnya, Karena Semakin Lunturnya Nilai-Nilai
Kemanusiaan, Prinsip-Prinsip Kemasyarakatan Dan Pilar-Pilar Pembangunan Berkelanjutan...
yang Universal dan Hakiki !
P2KP hanya akan Mampu Memberikan Kontribusi bagi Perbaikan
Masyarakat Miskin, Apabila:
Semakin Pulihnya Keadilan........
Semakin Pulihnya Kejujuran........
Semakin Pulihnya Keikhlasan.......
Semakin Pulihnya Kepercayaan.......
Semakin Pulihnya Kepedulian........
Semakin Pulihnya Kesatuan......
Semakin Pulihnya Kebersamaan dan Solidaritas Sosial......
Tegasnya, Semakin Pulihnya Nilai-Nilai Kemanusiaan,
Prinsip-Prinsip Kemasyarakatan serta Pilar-Pilar Pembangunan Berkelanjutan....
yang Universal dan Hakiki !

2) Paradigma-Paradigma di P2KP
a) Akar persoalan kemiskinan disebabkan oleh memudar serta lunturnya nilai-nilai luhur kemanusiaan, prinsip-prinsip kemasyarakatan dan pilar-pilar pembangunan berkelanjutan, yang melahirkan ketertutupan, ketidakadilan, keserakahan, mementingkan diri atau golongannya sendiri, ketidakpercayaan, perpecahan, penyimpangan, salah sasaran, mental ketergantungan pada bantuan dll;
b) Akar penyebab kemiskinan hanya dapat diselesaikan masyarakat dan pemerintah daerah sendiri melalui perbuatan baik, orientasi kepentingan umum serta kelestarian, oleh orang-orang yang baik dan benar, yang tulus ikhlas sebagai hasil dari pulihnya kembali nilai-nilai luhur kemanusiaan, prinsip-prinsip universal kemasyarakatan, dan pilar-pilar pembangunan berkelanjutan.
c) Manusia pada dasarnya baik. Di masyarakat maupun pemerintah daerah memiliki banyak tambang-tambang potensi sumber daya dan orang-orang berkualitas yang jujur serta dapat dipercaya serta penuh dengan manusia baik yang sarat dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan, akan tetapi kebaikannya tertutup oleh sistem serta tatanan kehidupan di sekitarnya (seperti tambang permata yang belum digali)
d) Menggali dan membuka peluang munculnya orang-orang yang jujur, dapat dipercaya, ikhlas, peduli, mampu, serta bertanggungjawab akan lebih menjamin kemajuan masyarakat!
e) Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Masyarakat dan pemerintah daerah yang mandiri serta bersifat pemberi adalah lebih baik daripada masyarakat dan pemerintah daerah yang senantiasa meminta dan memiliki mental tergantung pada bantuan pihak luar.
f) Dana P2KP digunakan sebaik-baiknya untuk kemanfaatan dan kepentingan perbaikan kesejahteraan masyarakat miskin. Pemanfaatan dana P2KP yang tidak sesuai dengan kemanfaatan bagi masyarakat miskin, atau salah sasaran, hanya akan memberikan andil besar pada “Pemiskinan Rakyat”.
g) Pengambilan keputusan dalam pelaksanaan P2KP di tingkat masyarakat melalui “Voting” hanya baik dilakukan bila telah tercapai kesamaan pemahaman mengenai persoalan yang dihadapi. Meskipun demikian, keputusan melalui musyawarah mufakat yang dilandasi kesadaran kritis adalah tingkat demokrasi yang terluhur …!
h) Siapakah yang membangun? Jawabnya hanya satu: “Orang-orang yang peduli” siapa pun dia, dari suku apa pun dia, dari agama apa pun dia, berasal dari penjuru mana pun dia, laki-laki atau perempuan, tua-muda-atau anak-anak, berpendidikan tinggi atau tidak, dan lainnya.
i) Solidaritas sosial harus dibangun diatas nilai-nilai kemanusiaan yang universal (Jujur, Dapat Dipercaya, Adil, dan lainnya) serta prinsip-prinsip kemasyarakatan (transparan, akuntabel, partisipatif, demokratis, dll), sehingga kebenaran tidak akan terkalahkan.
j) Yakinlah bahwa: Musuh bersama kemiskinan adalah “sifat-sifat buruk kemanusiaan”nya, bukan organisasi atau lembaga. Karena itu, suburkanlah sifat-sifat baik kemanusiaan di dalam diri dan lingkungan sekitar kita.
k) Bersikap Adil adalah: “Memperlakukan orang lain seperti diri sendiri ingin diperlakukan oleh orang lain”
l) Upaya penanggulangan akar kemiskinan harus dilanjutkan dengan upaya perbaikan kesejahteraan dan tata kehidupan serta lingkungan yang berkelanjutan melalui penumbuh-kembangan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (Tridaya).
3) Tantangan Utama
a. Mendorong masyarakat dan pemerintah daerah untuk menemukan orang-orang baik dan benar.
b. Mendorong kemandirian masyarakat dan pemerintah daerah untuk bertumpu pada potensi sumber daya yang dimiliki mereka sendiri dan mengurangi mental ketergantungan pada bantuan dari pihak luar. Dukungan pihak luar hanya sebagai pelengkap (stimulans) dari potensi yang ada.
c. Mendorong terwujudnya pembangunan berkelanjutan
4) Pendekatan
a. Pemberdayaan sejati, yaitu proses pembelajaran (edukasi) agar mampu menggali nilai-nilai baik yang telah dimiliki manusia dan memberdayakannya atau dengan kata lain memulihkan fitrah manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai mahluk ciptaan tertinggi sehingga mampu bertindak secara moral/nurani. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa Program P2KP ibarat sebuah sekop bagi masyarakat untuk memunculkan orang-orang baik dan benar, dan kemudian mendudukkannya pada tempat yang terhormat
b. Pemberdayaan masyarakat, yaitu mengubah 'skema Proyek' menjadi 'tatanan program' dari, oleh dan untuk masyarakat.
c. Penguatan Kapasitas Pemerintah Daerah, yaitu melembagakan kemandirian dan keberlanjutan program penanggulangan kemiskinan, melalui proses konsultatif dan Kemitraan sinergis antara pemerintah, masyarakat serta kelompok peduli setempat
d. Pembangunan Berkelanjutan, yaitu melalui Pembangunan daya sosial, daya lingkungan, daya ekonomi (Tridaya) secara proporsional sesuai aspirasi dan kebutuhan riil masyarakat.
5) Implementasi
a. Masyarakat menentukan siapa kelompok sasaran;
b. Masyarakat menentukan kelembagaan yang merepresentasikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip universal sebagai pimpinan kolektif mereka dalam membangun kemandirian dan keberlanjutan upaya penanggulangan kemiskinan.
c. Masyarakat merencanakan/menentukan sendiri bagaimana menanggulangi kemiskinan melalui PJM Pronangkis yang disepakati bersama
d. Masyarakat menggalang, memanfaatkan, mengoptimalkan dan mengelola sumber daya yang dimilikinya serta sumber daya luar yang diperolehnya, baik dari sumber daya P2KP, pemerintah daerah maupun sumber daya lainnya (melalui program kemitraan serta channeling program), untuk berlatih mengimplementasikan rencana mereka dalam menanggulangi kemiskinan
e. Masyarakat menentukan bagaimana menata dan membangun lingkungan permukiman yang terpadu, sehat, produktif dan lestari
f. Melembagakan Komunitas Pembelajar, baik di tingkat masyarakat kelurahan melalui Komunitas Belajar Kelurahan maupun di tingkat kota/kabupaten dengan Komunitas Belajar Perkotaan.
g. Pemerintah daerah mampu memfungsikan KPK-D dalam menyusun SPK-D dan Pronangkis Kota berbasis aspirasi serta kebutuhan masyarakat.
h. Pemerintah daerah menjalin kemitraan sinergis dengan masyarakat dan kelompok peduli, sejak tahap perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi hingga tahap pemeliharaan.

SMA di Magelang

SMA Negeri 1 Salaman
Jl. Raya Salaman
Salaman

SMA Muh. Salaman
Jl. Raya Salaman Margorejo
Menoreh
Salaman


SMA Muh. Borobudur
Jl. Syailendra Raya
Borobudur


SMA Negeri 1 Ngluwar
Plosogede
Ngluwar


SMA Muh. Ngluwar
Jl. Kyai Raden Syahid
Ngluwar

SMA Al Husain Salam
Jl. Yogya Km 22 Salam
Sucen
Salam


SMA Ma'arif Srumbung
Jl. Masjid An Nuur Srumbung
Srumbung

SMA Negeri 1 Dukun
Musuk
Kalibening
Dukun


SMA Muh. Dukun
Talun
Banyudono
Dukun


SMA Ma'arif Sawangan
Gondowangi
Sawangan


SMA Negeri 1 Muntilan
Jl. Ngadiretno 1 Muntilan
Tamanagung
Muntilan


SMA Marsudirini Muntilan
Jl. Sleko No. 4 Muntilan
Sedayu
Muntilan


SMA Bentara Wacana Muntilan
Jl. Lettu Sugiarno 40 A Mtl.
Pucungrejo
Muntilan


SMA Muh. 1 Muntilan
Jl. Tentara Pelajar
Tamanagung
Muntilan


SMA Muh. 2 Muntilan
Jl. K.H.A. Dahlan No. 14
Pucungrejo
Muntilan


SMA Pangudi Luhur Muntilan
Jl. Kartini No. 1 Muntilan
Muntilan


SMA Muh. Mungkid
Jl. Pemandian Blabak
Mungkid


SMA Negeri 1 Mertoyudan
Jl. Pramuka 49 Pancaarga
Banyurojo
Mertoyudan


SMA Negeri 1 Kota Mungkid
Jl. Mayor Unus Kota Mungkid
Deyangan
Mertoyudan


SMA Seminari Mertoyudan
Jl. Mayjen Bambang Sugeng
Sumberrejo
Mertoyudan


SMA Taruna Nusantara
Jl. Raya Purworejo
Banyurojo
Mertoyudan


SMA Islam Sudirman Kaliangkrik
Jl. Mayor Ismulloh
Beseran
Kaliangkrik


SMA Negeri 1 Bandongan
Bandongan

SMA Sholihin Bandongan
J. R. Abdullah Bandongan
Bandongan

SMA Negeri 1 Candimulyo
Candimulyo Km 4 Karen
Surojoyo
Candimulyo


SMA Ma'arif Candimulyo
Barisan Candimulyo
Candimulyo

SMA Islam Sudirman Pakis
Jl Jend. Sudirman No. 17
Pakis

SMA Negeri 1 Grabag
Jl. Raya Grabag
Grabag

SMA Negeri 2 Grabag
Jl. Raya Grabag No. 46
Kalikuto
Grabag


SMA Islam Sudirman Grabag
Jl. Telaga Bleder Km 1
Grabag

SMA Muh. Secang
Jl. H.Abu Bakrin Secang
Madyocondro
Secang


SMA Widya Wacana Secang
Jl.Temanggung No 51
Secang

SMA Islam Secang
Jl.Temanggung No 28
Secang